Sebenarnya Sederhana: Pria dan Wanita Berbeda


Sebenarnya sederhana saja: pria dan wanita berbeda. Tapi penelitian kedokteran seolah baru menyadari hal itu.

Pagi Sinta terbangun dengan rasa tidak nyaman di dada. Panas dan nyeri. Perutnya terasa mulas dan mual. Tapi wanita karier berusia 'kepala 4' ini memaksakan diri juga berangkat ke kantor. Begitu tiba, ia melesat ke kamar mandi dan muntah-muntah di sana. Oleh rekan-rekannya ia segera dilarikan ke rumah sakit, dan tahu-tahu ia sudah berada di ruang gawat darurat.

Selama beberapa jam, dokter dan staf rumah sakit melakukan serentetan tes, tapi belum juga menemukan 'biang kerok' penderitaan Sinta. "Mereka terus-menerus memberiku obat maag. Mereka menduga, penyakit maag-ku kumat lagi," ujar Sinta yang memang mengidap penyakit lambung kronis.

Hari sudah menjelang sore ketika seorang dokter ahli jantung memeriksa dia dan menyimpulkan, bahwa Sinta mendapat serangan jantung. Suatu kemungkinan yang selama berjam-jam lolos dari dugaan.

Kisah Sinta bukan kisah yang luar biasa, sekalipun bagi yang bersangkutan sangat merugikan. Akibat terlambat mendapat pengobatan yang tepat, otot jantung Sinta menjadi cedera permanen. Padahal, pengobatan terhadap penyakit jantung terbukti paling efektif bila diberikan dalam waktu paling lambat satu jam setelah serangan.

Mengapa dokter jaga tidak langsung curiga Sinta terkena serangan jantung? Karena gejala-gejalanya tidak persis sama dengan gejala yang umum. Dan mengapa tidak sama, semata-mata karena Sinta wanita!

Gejala gangguan jantung pada wanita beda dengan pria

Ada yang mengira, hanya pria yang bisa menjadi korban penyakit jantung. Tapi sebenarnya penyakit ini tidak membedakan pria dan wanita. Di Australia, satu dari tiga wanita berpeluang meninggal dunia karena serangan jantung. Dan di AS, penyakit ini merupakan pembunuh nomor satu wanita.

Gejala serangan pada pria termasuk nyeri di dada, rasa sakit yang menyebar ke lengan kiri dan rasa mulas yang akut. Pada wanita, selain nyeri di dada, muncul pula gejala lainnya seperti sesak nafas, mual dan muntah-muntah, dan rasa sakit pada punggung dan dagu. The Journal of the American College of Surgeons masih menambahkan beberapa gejala umum lainnya: rasa lemas, lelah yang tidak biasa, keringat dingin, dan pusing kepala.

Hingga beberapa waktu lalu, tak sampai 7% wanita diikutsertakan dalam penelitian penyakit jantung di seluruh dunia. Dr Roger Allan, ketua Heart Foundation's Clinical Issues Committe di Australia mengatakan, bahwa para dokter kebanyakan memfokuskan perhatian pada nyeri dada. Tapi ia juga mengakui, 25% pasien wanita melaporkan rasa sakit yang berbeda. Sekalipun ia yakin Australia memiliki rekor yang lebih baik daripada AS dalam hal mendeteksi penyakit jantung pada wanita, di masa lalu terjadi juga beberapa salah diagnosa. "Kami lebih fokus pada gejala umum yang dialami pria," ujarnya.

Prosedur rumah sakit lebih merujuk kepada pria?

Wanita menghadapi banyak masalah kesehatan yang serupa dengan pria, tapi berbeda pengaruhnya. Karena prosedur rumah sakit biasanya merujuk pada gejala-gejala yang dialami pria, sangat mungkin terjadi, wanita mendapat diagnosa yang keliru, terlambat mendapat pengobatan yang tepat, atau bahkan dianggap tidak sakit!

Selama ini wanita sering dianggap sekedar 'versi kecil' pria. Namun sekarang, para ilmuwan mulai menyadari betapa kelirunya, betapa berbahayanya asumsi ini. Para peneliti telah menemukan adanya perbedaan-perbedaan biologis kecil di setiap bagian tubuh pria-wanita, mulai dari sel, yang menyebabkan kedua makhluk ini perlu ditangani secara berbeda. Seperti yang diutarakan Dr Susan Phillips dari Queen's University di Ontario, Kanada, "Pria dan wanita sama dalam 99 persen materi genetis mereka. Tapi kadang-kadang perbedaan genetis sangat kecil sekalipun besar pengaruhnya dalam diagnosa dan pengobatan."

Para peneliti juga mengetahui, bahwa pria dan wanita mencerna obat dengan cara berbeda. Keseimbangan hormon dan distribusi lemak tubuh memainkan peran penting dalam penyimpanan dan penggunaan bahan kimia ini. Diketahui pula, otak wanita lebih 'plastis' dari otak pria, yang memungkinkan wanita lebih cepat sembuh dari serangan stroke. Juga ditemukan, bahwa tubuh pria bereaksi pada beberapa jenis rasa sakit secara berbeda dari wanita, dan mungkin membutuhkan pengobatan yang tidak sama.

Bukan itu saja. Wanita lebih terbiasa memeriksakan diri ke dokter dan memelihara kesehatannya. Sedangkan pria enggan berobat ke dokter sampai penyakitnya parah. Pria juga lebih sering mengalami cedera dan kecelakaan, bahkan juga punya kecenderungan yang lebih besar untuk bunuh diri.

Wanita kurang diperhitungkan dalam penelitian klinis

Sekalipun sudah menyadari kekhasan wanita-pria, seringkali dokter memberi obat tanpa memperhitungkan perbedaan jender. Mengapa? Di seluruh dunia, kebanyakan percobaan klinis dilakukan pada pria. Wanita tidak diikutsertakan, karena akan menimbulkan kerumitan-kerumitan tersendiri. Misalnya, harus diperhitungkan kadar hormonnya ketika sedang haid, atau kalau sudah menopause. Juga ada persoalan dana. Semakin homogen peserta penelitian, semakin cepat diperoleh hasil. Bila mengikutsertakan wanita (juga berbagai etnis bangsa), penelitian menjadi rumit dan biayanya pun semakin mahal.

Namun pria pun bisa menjadi 'anak tiri' dan terabaikan dari riset penting. Misalnya dalam riset untuk osteoporosis. Satu diantara delapan kasus penyakit ini terjadi pada pria, tapi hanya sedikit penelitian yang melibatkan pria. Pengobatan pada pria, jadinya, hanya dilakukan berdasarkan penelitian-penelitian terhadap wanita.

Pada awal tahun 1990-an terjadi perkembangan menggembirakan di AS. Para peneliti mulai memperhatikan prosedur pengobatan, khususnya untuk penyakit jantung, dan menemukan bahwa pasien wanita selama ini telah diabaikan. Penelitian-penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Food and Drug Administration AS menemukan pula bahwa wanita bereaksi berbeda terhadap pengobatan penyakit jantung. Antara lain, wanita cenderung menderita komplikasi ganda, seperti mengalami perdarahan setelah menjalani kateterisasi.

Perbedaan pria-wanita ini menimbulkan persoalan besar, kata Dr Phillips. "Kalau satu obat berhasil 100 persen pada pria dan sama sekali tidak ada pengaruhnya pada wanita, sekilas terkesan bahwa obat itu 50% efektif. Tapi kesimpulan seperti ini berbahaya, karena menyembunyikan fakta perbedaan jenis kelamin."

Beberapa tahun yang lalu National Institute of Health di AS menuntut agar untuk penyakit-penyakit yang diderita oleh pria maupun wanita, pemerintah memberi dana penelitian yang melibatkan kedua jenis kelamin.

Pria lebih tahan terhadap rasa sakit

Ada yang berpendapat, wanita lebih tahan sakit ketimbang pria, khususnya karena wanita didisain alam untuk melahirkan. Ternyata ini tidak benar. Yang benar, pria dan wanita mengalami rasa sakit secara berbeda, dan respon masing-masing terhadap obat penahan rasa sakit berbeda pula. Tekanan darah pria meningkat ketika ia merasa sakit, jantung wanita berdegup kencang tapi tekanan darahnya tetap sama, atau bahkan turun.

Dalam beberapa eksperimen terbukti, wanita justru memiliki ambang rasa sakit yang lebih rendah dari pria. Beberapa peneliti juga menekankan, wanita lebih banyak dan lebih sering merasa sakit, dan sakit itu pun berlangsung lebih lama. Kelihatannya ini gara-gara fisiologi wanita. Hormon dapat mempengaruhi cara kerja saraf, juga cara berfungsinya penghilang rasa sakit alami. Selain itu, wanita menghadapi rasa sakit secara lebih fokus dan emosional, sementara pria cenderung mencari jalan keluar untuk mengatasi rasa sakit tersebut.

Namun, penelitian membuktikan pula, bahwa beberapa jenis rasa sakit dialami secara lebih intens oleh pria, dan mereka tidak terlalu terbantu oleh penghilang rasa sakit. "Rasa sakit tidak dikelola dengan baik di kebanyakan rumah sakit. Fakta bahwa pria dan wanita memiliki respon berbeda tidak diperhitungkan," ujar Dr. Jo Wainer, Direktur Gender and Medicine Research Unit di Monash University.

Perbedaan respon terhadap obat

"Tubuh wanita memang berbeda dengan pria. Perbedaan dalam berat tubuh, komposisi tubuh, cara organ hati dan ginjal mencerna obat atau tubuh mengeluarkan obat, juga fluktuasi hormon; semua itu mempengaruhi cara kerja obat pada wanita," demikian penjelasan Debbie Rigby, wakil presiden Pharmaceutical Society di Australia.

Artinya pula, wanita mungkin menderita efek samping yang lebih besar daripada pria. Bukti-bukti di AS menunjukkan adanya lusinan obat yang cenderung mengakibatkan masalah jantung pada wanita, tapi tidak pada pria.

Dan penelitian besar-besaran terhadap aspirin yang dilakukan tahun 2005 menghasilkan penemuan yang mengejutkan - ternyata obat ini tidak melindungi wanita terhadap serangan jantung! Penelitian The National Institutes of Health menunjukkan bahwa wanita setengah baya yang minum aspirin tidak berkurang risikonya terhadap serangan jantung pertama, sekalipun penggunaan pil ini mengurangi kemungkinannya mengidap stroke. Namun setelah usia 65 tahun, aspirin membantu melindungi wanita terhadap serangan jantung.

Demikian pula dengan statin, 'obat ajaib' penurun kadar kolesterol, yang dahulu dianggap mengurangi risiko penyakit jantung pada semua pasien. Hasil penelitian yang diterbitkan di Journal of the American Medical Association pada tahun 2002 mengungkapkan bahwa statin tidak memberi dampak apa-apa pada tingkat kematian wanita yang yang tidak menderita penyakit kardiovaskular.

Zoloft, obat anti-depresi, digunakan untuk mengobati berbagai kondisi kesehatan, termasuk post traumatic stress disorder. Namun, penelitian klinis menunjukkan bahwa Zoloft berdampak kecil sekali terhadap pria yang mengidap kondisi ini, sekalipun manjur untuk wanita.

Tentu saja, perilaku kita dapat juga mempengaruhi kemanjuran obat. Wanita cenderung memakai obat lebih banyak dari pria - meningkatkan peluang salah obat - tapi wanita juga lebih tekun mengikuti petunjuk dan resep dokter.

Memelihara kesehatan sendiri

Bagaimana dengan di Indonesia? Belum diketahui adanya penelitian-penelitian serupa. Jadi Anda, baik pria maupun wanita, Anda sendirilah yang bertanggungjawab atas kesehatan sendiri. Bila sakit, carilah dokter yang Anda yakin bisa memberi perawatan kesehatan yang sebaik-baiknya. Jangan pula abaikan pentingnya komunikasi dokter-pasien. Pastikan dokter Anda bersedia mendengarkan keluhan Anda dan mau diajak berdiskusi untuk mencari solusi dan ... obat yang tepat!


Komentar