Kiat-kiat agar Multitasking Bisa Sukses
Zaman sekarang, multitasking adalah lumrah. Misalnya, ayah yang bekerja sambil studi lanjut, atau pekerja kreatif yang memegang beberapa proyek sekaligus. Simak kiat para pakar agar multitasking bisa sukses.
Apa yang sedang Anda lakukan saat ini?
Mengobrol di telepon sambil mengetik di komputer, atau mencari ide sambil menyusuri Twitter di toilet? Ini adalah contoh multitasking paling sederhana. Tentu, ada bentuk yang lebih kompleks, yakni ketika kita melakukan lebih dari satu pekerjaan pada saat yang bersamaan.
Joice Manurung, Psi.,konselor dari Asian Business Consultants, menjabarkan multitasking sebagai melakukan aktivitas dalam waktu yang hampir bersamaan. Biasanya, orang menunda sekian detik atau sekian menit dalam waktu yang berdekatan.
"Fokusnya tetap satu. Misalnya, makan sambil menonton TV. Saat makan, fokus ke TV berkurang, hanya membagi sekian menit atau detik yang berbeda," jelas Joice.
Menurutnya, multitasking tak lepas dari tuntunan zaman yang serba instan dan mengharuskan segala sesuatu dengan segera. Sejumlah pakar berpendapat, multitasking 3-4 pekerjaan secara hampir bersamaan akan efektif pada mereka yang kuat secara fisik dan pikiran.
Penjelasan senada disampaikan oleh Hany Gungoro, CFA, dari Paxcis Identity.
Multitasking adalah sebuah kondisi dimana seseorang diharapkan atau mampu mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus pada saat yang bersamaan. Sedangkan orang yang "single-tasking" umumnya memiliki kecenderungan untuk menyelesaikan pekerjaan yang satu, baru melanjutkan dengan pekerjaan yang lain.
"Multitasking berarti mengerjakan dua tugas pada waktu bersamaan, misalnya mengetik email sambil berbicara dengan rekan, melakukan tugas customer services sambil membuat laporan, berjalan sambil mengirimkan SMS, atau memasak makan malam untuk keluarga sambil menerima telepon.
Multitasking juga dapat diartikan sebagai mengerjakan lebih dari satu tugas pada saat yang bersamaan. Contoh, manajer HRD yang harus melakukan program recruitment besar dari sejumlah universitas, sambil secara bersamaan harus menangani program training bagi seluruh karyawan.
"Kita semua melakukannya. Atau lebih tepatnya, kita semua tidak mampu menghindarinya. Di zaman sekarang, dengan kemajuan teknologi, kecepatan pengolahan informasi, kompetisi yang ketat, melakukan satu tugas pada satu saat telah menjadi sebuah kemewahan," papar Hany.
Lebih jauh Hany menjelaskan bahwa persepsi multitasking akan mencapai lebih banyak target tidak sepenuhnya benar.
Mengapa? Manusia pada dasarnya tidak benar-benar multitasking. Kemampuan otak manusia untuk membagi fokus atas beberapa hal pada saat bersamaan terbatas. Ketika multitasking, otak kita dipaksa untuk on/off antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lain.
Setiap kali kita berhenti pada satu titik pekerjaan dan pindah ke pekerjaan lain, otak manusia memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri di pekerjaan tersebut. Hal ini akan diperparah jika pekerjaan-pekerjaan tersebut membutuhkan kemampuan yang berbeda.
"Kita lebih mudah melakukan multitasking untuk jenis pekerjaan yang tidak banyak membutuhkan pemikiran. Namun, untuk pekerjaan yang membutuhkan fokus lebih dalam atau berpikir kritis atau kreatif, multitasking tidak akan menelurkan hasil optimal," ujar Hany.
Akibatnya, produktivitas akan turun, pengerjaan menjadi lebih lambat, kualitas eksekusi memburuk, kesalahan lebih mudah terjadi, dan prestasi dapat menjadi lebih buruk.
Bahkan, hubungan antara manusia pun dapat menjadi terpengaruh. Sering terjadi, pasangan bertengkar karena salah satu salah merespons pembicaraan akibat sibuk membalas pesan di ponsel.
Ada, kok, sejumlah hal yang bisa dilakukan dengan bersamaan.
Pekerjaan yang relatif tidak terlalu membutuhkan fokus berlebihan, misalnya. Contoh, bersenandung mendengarkan musik sambil membuka amplop surat, atau menidurkan anak sambil mengobrol dengan pasangan.
Hal lain yang juga masih bisa dilakukan bersamaan adalah pekerjaan yang memiliki sifat sejenis. Sambil menunggu balasan email dari pelanggan A tentang produk yang kita tawarkan, kita menulis email ke pelanggan B untuk menawarkan produk kita.
"Saya sendiri pernah menyaksikan bagaimana atasan saya mampu menjawab pertanyaan rekannya di sebelah sambil mengetik SMS, dan mendengarkan pembicara di depan," papar Hany. "Konon, hanya 2-3 persen penduduk di dunia yang mampu melakukan multitasking dengan baik."
Kendati demikian, Joyce berpesan bahwa multitasking tetap memiliki plus minus tersendiri. Positifnya, banyak target yang bisa tercapai, serta bisa membuat setiap hal berjalan lebih cepat dan lebih mudah.
Sementara itu, negatifnya adalah keletihan fisik dan kualitas pekerjaan yang tidak sebaik ketika fokus pada satu pekerjaan, karena dia harus membagi prioritas.
Kemajuan dan kecepatan teknologi memang dapat memudahkan kita dalam melakukan multitasking. Namun, di balik itu, kendalanya adalah waktu, yang terkait dengan perencanaan.
"Karena bertindak hampir bersamaan, perencanaan biasanya tertunda, atau minimal terganggu. Ketika dia merencanakan yang satu, muncul aktivitas lain. Perencanaan yang lain akan terhambat," tegas Joyce..
Jika tidak mampu mengatur waktu dan strategi dalam bekerja, maka dampaknya adalah apresiasi terhadap dirinya berkurang, target pribadinya tidak tercapai, serta perencanaan tidak tersusun dan terlaksana dengan baik.
Ini diamini oleh Hany. Menurutnya, kendala yang lazim dihadapi oleh pelaku multitasking adalah kejadian yang tak terduga dan perencanaan waktu yang terlalu ambisius.
"Multitasking sering tak terhindarkan. Namun, kita perlu sadari bahwa multitasking tidak meningkatkan produktivitas. Sebaliknya, kualitas dan kreativitas menurun, stres meningkat, dan dalam situasi tertentu cenderung dapat membahayakan keselamatan," Hany mengingatkan.
Agar multitasking tak berujung pusing, Joyce mencatat sejumlah modalitas yang dibutuhkan.
Pertama, fisik yang kuat. Lalu, pikiran yang kreatif, yang dibutuhkan untuk memikirkan dan menyusun langkah-langkah berikutnya. Selanjutnya adalah skala prioritas, sehingga dapat memilih mana yang perlu didahulukan.
Orang yang pintar ber-multitasking juga dapat disiplin mengatur waktu dan proaktif. Misalnya, saat membuat laporan selama 30 menit, di sela-sela itu dia melakukan apa. Agar tidak terganggu, dia mesti proaktif menyelesaikan, jangan menunggu problem muncul.
"Intinya, kerjakan sesuatu ketika kita punya waktu, bukan ketika deadline sudah tiba. Kalau bisa dikerjakan sekarang ya dikerjakan, jangan ditunda. Dan lakukanlah di tempat yang tepat," tegas Joyce.
Yang tak kalah penting adalah take and break atau mengambil waktu rehat, supaya tidak terlalu letih. Multitasking membutuhkan fisik yang sehat. Jadi, di antara kesibukan, kita harus rehat agar rileks. Ketika rileks, orang akan bisa berpikir kreatif.
"Indikator multitasking yang efektif adalah ketika kita mampu membagi waktu, membuat prioritas, menentukan target yang efektif, dan melakukan berbagai pekerjaan kita dengan fisik yang sehat," pungkas Joyce.
Komentar