Beban Kerja Berlebihan Dapat Memicu Sejumlah Masalah Kesehatan



Kabar kematian sejumlah pekerja usia produktif akibat beban kerja berlebihan membuat kita tersentak. Saatnya mewaspadai bahaya dari kelelahan kerja.

Kematian Miwa Sado, wartawati usia 31 yang menjalani lembur selama 159 jam dalam sebulan, mengejutkan banyak orang.

Tak hanya di Jepang, berbagai negara pun turut menyoroti bahaya dari overwork atau beban kerja berlebihan yang dapat memicu sejumlah masalah kesehatan bagi pekerja usia produktif.

Menurut DR. Dr. Kasyunnil Kamal, MS., Sp.Ok, staf pengajar Departemen Kedokteran Okupasi FKUI/RSCM, banyak faktor pemicu yang mengakibatkan kematian pekerja usia produktif. Di antaranya, beban kerja atau masalah di pekerjaan selama bertahun-tahun, ditambah gaya hidup tak sehat.

"Selain itu, stres di dalam maupun di luar pekerjaan juga mengakibatkan perubahan pada keadaan fisik maupun mental pekerja. Karena itu, ketahanan fisik usia produktif sangat penting sebagai identifikasi dini masalah kesehatan dan penentuan kelaikan kerja," ujar Dr. Kasyunnil.

Ia menegaskan pentingnya kelaikan kerja. Namun, masih ada beberapa jenis pekerjaan di mana tenaga kerjanya belum mendapat pelayanan penentuan kelaikan kerja, sehingga tidak diketahui tingkat ketahanan fisiknya.

Waktu kerja yang panjang, serta pekerjaan yang menuntut pola kerja dengan sistem shift seperti pekerjaan yang berbasis pelayanan 24 jam juga menjadi sorotan bagi Dr. Rima Melati, MKK, Sp.Ak, Sp.Ok., staf pengajar Program Pendidikan Vokasi UI dan Magister Kedokteran Kerja FKUI.

"Manusia merupakan makhluk diurnal dengan jam biologis yang berpengaruh secara alami, sehingga akan aktif selama siang hari dan beristirahat pada malam hari. Kerja shift akan mengubah jam biologis tubuh yang akan berdampak pada kesehatan," tandas Dr. Rima.

Dalam jangka pendek, kondisi ini menimbulkan keluhan seperti kondisi jet lag, yaitu kelelahan, mengantuk, sulit tidur, gangguan cerna, serta penurunan kemampuan mental dan efisiensi kinerja.

"Dalam jangka panjang, kondisi ini menyebabkan keluhan lebih banyak dan menimbulkan penyakit," tegas anggota Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (PERDOKI) ini.

Lebih jauh, Dr. Rima mengutip International Labour Organization (ILO) yang menyatakan bahwa bekerja lebih dari 48 jam seminggu sudah dikategorikan sebagai waktu kerja berlebihan. Umumnya, waktu kerja di negara berkembang mencapai 50-60 jam per minggu.

"Semakin lama bekerja, maka semakin mudah pula mengalami kelelahan yang menetap dan meningkat hingga selesai kerja. Waktu kerja berkepanjangan berarti berkurang kesempatan untuk beristirahat dan pemulihan sebelum kembali bekerja esok harinya," Dr. Rima mengingatkan.

Jika berlangsung dalam jangka panjang, akan terjadi akumulasi kelelahan. Diperkirakan, kelelahan kronis terjadi pada 2-3 persen pekerja dan akan semakin meningkat. Ini umumnya timbul pada kelompok usia produktif, yaitu 20-40 tahun, dan wanita lebih berisiko dibandingkan pria.

Bekerja lebih dari 55 jam seminggu bisa meningkatkan risiko stroke hingga 33 persen dan risiko jantung koroner hingga 13 persen. Waktu kerja 41-48 jam seminggu akan meningkatkan risiko stroke 10 persen, dan 49-54 jam meningkatkan risiko hingga 27 persen.

Dr. Rima mengungkap bahwa di Jepang, di mana para pekerja terbiasa bekerja dalam waktu panjang, terdapat peningkatan kematian akibat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, gagal jantung akut, serangan jantung, dan pecahnya pembuluh darah.

Jepang bahkan punya istilah khusus untuk kematian akibat kerja berlebihan, yakni karoshi.

"Bekerja dalam waktu panjang merupakan stressor yang menyebabkan perubahan gaya hidup tidak sehat, seperti meningkatkan kecenderungan untuk merokok, mengonsumsi alkohol, kurang aktivitas fisik, mengantuk, dan pola makan buruk," kata Dr. Rima.

"Selain itu, kondisi ini membuat pekerja lebih jarang melakukan pemeriksaan kesehatan karena ketiadaan waktu. Akibat lain adalah peningkatan kecemasan, ketegangan, gangguan emosi, kelelahan dan obesitas," ungkap Dr. Rima.

Menurutnya, waktu kerja panjang menyebabkan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis, juga menimbulkan stres yang akan menyebabkan pengeluaran adrenalin dan hormon kortisol. Kondisi ini akan memengaruhi detak jantung dan tekanan darah, dan bila berlangsung lama akan menyebabkan gangguan kardiovaskular.

Gangguan kesehatan lain yang dapat ditimbulkan seperti gangguan cerna, kesehatan mental, diabetes, otot rangka, gangguan tidur, penurunan imunitas tubuh, gangguan kognitif hingga kelelahan kronis.

Kelelahan, tandas Dr. Rima, merupakan sinyal bagi tubuh agar beristirahat.

"Bila tubuh sudah memberikan sinyal, maka sebaiknya dilakukan penilaian terhadap kelaikan kerja. Bila perlu, istirahat agar pulih kembali dan menghindari terjadi kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan," papar Dr. Rima.

Bila kelelahan tidak hilang dengan cukup tidur, nutrisi yang baik, atau pergantian lingkungan dengan tekanan rendah, maka sebaiknya dievaluasi oleh dokter. Karena kelelahan adalah keluhan umum, terkadang penyebab yang berpotensi serius bisa terlewatkan.

Tanda-tanda yang harus diwaspadai antara lain tidak bisa tidur nyenyak atau insomnia, obesitas, serta meningkatnya kebiasaan tidak baik, seperti merokok, minum kopi berlebihan, dan minum alkohol.

Dr. Kasyunnil menegaskan bahwa kelelahan kerja bisa terjadi pada semua kelompok pekerja yang tidak memerhatikan gaya hidup sehat. Tak ada kelompok tertentu yang lebih rentan.

Karena itu, pemeriksaan kesehatan penting dijalani setiap pekerja, yang dilanjutkan dengan penentuan kelaikan kerja yang sesuai jenis pekerjaan dan faktor risiko, baik saat mulai bekerja maupun secara berkala.

"Dengan mengetahui kondisi kelaikan kerja terkait kesehatannya, dapat ditentukan kelompok kelaikan kerja yang terkait dengan kondisi kesehatan (kerentanan terhadap jenis pekerjaan dan risiko kerja)," ujar Dr. Kasyunnil.

Dari hasil pemeriksaan tersebut akan didapati profil kesehatan setiap pekerja, sehingga dapat dilakukan program kesehatan promosi dan pencegahan terhadap masalah kesehatan pekerja agar kondisi kesehatannya menjadi lebih baik.

Pada intinya, beban kerja harus disesuaikan dengan hasil pemeriksaan kesehatan dan penentuan kelaikan kerja. Dengan demikian, diharapkan pekerja dapat menyadari kondisi kesehatannya, sehingga dapat pula menyesuaikan dengan pekerjaan dan waktu kerjanya.

Pekerja perlu menjaga keseimbangan antara kesibukan di pekerjaan dengan melakukan aktivitas fisik yang cukup, kegiatan relaksasi, dan kebiasaan hidup yang baik.

"Tidak ada alasan untuk tidak berolahraga karena sibuk bekerja. Aktivitas fisik bisa dilakukan di tempat kerja, bahkan sambil bekerja," pungkas Dr. Kasyunnil.


Gejala Kelelahan Kronis
* Keletihan
* Mengantuk
* Penurunan kewaspadaan, gangguan konsentrasi dan memori.
* Motivasi kerja menurun.
* Mudah sakit, depresi, sakit kepala, pusing.
* Kehilangan nafsu makan dan gangguan pencernaan.

Kerja Malam Tingkatkan Risiko Kanker
Para perempuan yang bekerja shift malam di Eropa dan Amerika Utara memiliki 19 persen risiko lebih tinggi terhadap kanker dibanding rekan mereka yang bekerja di siang hari.
Studi terbaru dalam jurnal Cancer Epidemiology, Biomarkers and Prevention tersebut juga menguak bahwa risiko ini tak ditemukan pada perempuan di Australia dan Asia. Menurut Xuelei Ma, ahli onkologi di West China Medical Center of Sichuan University, China, perempuan di Eropa dan Amerika Utara diduga memiliki tingkat hormon seks lebih tinggi, dan ini terkait dengan hormon terkait kanker, seperti kanker payudara. Hasil studi ini menyarankan pentingnya program perlindungan kesehatan serta pemeriksaan fisik teratur bagi pekerja shift malam.


Komentar