Ayo Mendaki Puncak Kerinci!


Mendaki gunung Kerinci membuahkan tantangan tersendiri. Untuk menggapai puncak gunung berapi tertinggi di Indonesia sekaligus atapnya Sumatera ini, harus menembus hutan tropis, jalan berbatu, berpasir, dan tentunya medan menanjak. Ketika berada di puncaknya yang berketinggian 3.805 meter dpl, terbayar sudah lelah itu. Sejak awal pendakian, keindahan alam gunung ini sudah memikat hati.

Jalur pendakian ke gunung Kerinci paling sering dilalui pendaki lewat Kersik Tuo. Kendati berada di Jambi, desa di kaki gunung Kerinci ini didiami orang Jawa yang tentunya fasih berbahasa Jawa. Mereka adalah keturunan para pekerja kontrak yang didatangkan Belanda untuk membuat jalan raya dan perkebunan teh Kayu Aro tahun 1920 lalu. Di depan jalan raya desa ini terbentang perkebunan Kayu Aro. Tepat di depan Tugu Harimau, jalur Kersik Tuo berawal dari sini.

Sebelum mendaki, para pendaki mendaftarkan diri di kantor Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di R. 10 yang berada di ketinggian 2600 meter di atas permukaan laut (m dpl). Dari perkebunan teh ke R. 10 bisa dengan berjalan kaki atau menyewa ojek.

Usai mengurus perizinan pendakian yang simpel, perjalanan dilanjutkan ke Pintu Rimba di ketinggian 1800 m dpl. Dinamakan begitu karena medan selanjutnya berupa hutan rimba tropis khas Sumatera yang berisi pepohonan tinggi beserta bermacam satwa liar. Ketika kami melintasi hutan ini, sesekali terdengar teriakan primata dan kicauan aneka burung.

Selepas hutan tropis bermedan datar, setengah jam kemudian jalur pendakian mulai menanjak. Setelah melewati Pos Bangku Panjang dan Batu Lumut, setapak menanjak seperti tak berujung. Sedikit sekali medan datar untuk melepas lelah sejenak. Baru setelah 5 jam pendakian, kami tiba di Shelter I (2.500 m dpl). Sayang, pondok di Shelter ini tak berbentuk lagi. Tinggal puing saja.

Menuju Shelter II jalur pendakian semakin sulit. Jika sebelumnya penuh dengan tanjakan, kini ditambah lagi lorong-lorong yang terbentuk oleh ranting dan dahan pepohonan. Rintangan alami itu jelas menghambat laju pendakian, apalagi jika membawa ransel yang besar dan tinggi. Hambatan lain yang harus dilalui berupa ceruk tanah yang berlumpur saat hujan turun.

Setelah 3 jam pendakian, kami tiba di Shelter II (3000 m dpl). Di ketinggian ini pepohonan sudah mulai jarang dan ukurannya semakin pendek. Di Shelter ini juga sudah tidak ada pondok utuh. Hanya kerangka dengan tempat datar untuk mendirikan tenda.

Selepas Shelter II, jalur pendakian semakin berat, berupa lorong ceruk tanah dengan pijakan hingga setinggi 2 meter. Kami memilih cara lain untuk melampauinya yakni dengan mengambil jalan di tepian ceruk, berpegangan dengan akar dan batang pepohonan. Jalur pendakian dari Pintu Rimba hingga Shelter II jarang sumber air, oleh karena itu kami membekali diri dengan air sejak awal pendakian.

Kurang lebih satu jam, kami menembus medan itu hingga tiba di padang rumput yang cukup luas. Di Shelter III yang berketinggian 3.300 m dpl inilah kami mendirikan tenda. Disini mudah menemukan sumber air, kami bisa memasak logistik untuk santap malam. Ada beberapa pendaki yang langsung menuju puncak, tapi kami lebih memilih beristirahat untuk melanjutkan pendakian ke puncak, dini hari.

Pendakian ke puncak merupakan tahap terberat. Walau tanpa beban namun lelah tetap terasa karena menempuh 4 jam pendakian. Belum lagi harus melawan dingin yang menusuk tulang, melewati medan bebatuan berpasir berkemiringan 60 derajat kian memperberat langkah. Tak ada cara lain selain tetap menjaga keseimbangan sambil memegang permukaan bebatuan yang dingin agar tetap selamat. Kalau pijakan tak stabil, tubuh bisa terhempas ke dasar jurang.

Menjelang setengah jam menuju puncak, kami sampai di lapangan berbatu di ketinggian 3.680 m dpl. Aneka bebatuan berwarna coklat kemerahan terhampar di sana. Di tanah lapang ini banyak sekali tanda-tanda bekas para pendaki yang hilang. Ada Tugu Yudha, pendaki dari Jakarta yang hilang pada tahun 90-an. Ada pula nisan seorang pendaki bernama Adi Permana yang juga tewas tahun 1982.

Dari tempat inilah perjuangan terakhir mencapai atap Sumatera dimulai. Jika stamina prima, cukup 15 menit saja untuk mencapai puncaknya. Kami akhirnya tiba di puncak Kerinci yang berbentuk kerucut atau sejenis Strato Vulcano. Di tengahnya ada lubang kawah yang masih rajin mengepulkan asap belerang, menandakan gunung ini masih aktif.

Saat kami berada di puncak Kerinci, kami disuguhkan pemandangan menawan. Di kejauhan terlihat danau Belibis bahkan desa Kersik Tuo saat cuaca cerah dan juga Samudera Hindia. Di sebelah timur, terlihat danau Gunung Tujuh menyembul diantara puncak-puncak Gunung Tujuh.

Puas membayar lelah di atap Sumatera ini, kami segera turun lewat rute semula. Kembali tingkat kewaspadaan diuji saat menuruni medan yang tadi kami tanjaki. Delapan jam kemudian kami tiba di Kersik Tuo. Sewaktu di perjalanan turun, dalam hati berkata, "oh Kerinci meski sulit kau didaki, namun keindahanmu tetap kunanti".

Komentar