Apa yang Harus Dilakukan untuk Mengatasi Tantrum?


Menangis, berteriak, memaki, melempar barang, sampai berguling-guling di lantai. Itulah tantrum, reaksi negatif si kecil saat keinginannya tidak terpenuhi dan kenyamanannya terganggu. Apa yang harus dilakukan orangtua untuk mengatasinya? Sejumlah pakar memberi saran.

Sungguh menguji kesabaran ketika si kecil marah dan bereaksi negatif terhadap sesuatu, apalagi bila dilakukan di tempat umum. Tantrum, begitu istilah yang digunakan untuk menggambarkan emosi negatif anak-anak atas perasaan tidak nyaman yang dialaminya.

Rendra Yoanda, M.Psi., Psikolog,dari Klinik Psikologi Pelangi, Kota Wisata Cibubur, menyebutkan bahwa tantrum merupakan respons perilaku marah yang meledak-ledak, muncul dengan mudah, memiliki intensitas reaksi sangat kuat, dan sulit dikontrol, baik oleh orangtua maupun anak.

Bentuk tantrum yang paling umum biasanya berteriak, memaki, memecahkan atau melempar barang, dan berguling-guling - kadang disertai memukul atau menendang orang lain. Pada balita, tantrum mungkin disertai muntah, mengompol, atau bahkan menahan nafas hingga wajah membiru.

"Bentuk ekspresi marah ini lazim ditunjukkan anak usia 2-4 tahun. Inilah fase negativistik dan berusaha mandiri dari anak, sehingga sering kali menunjukkan sikap perlawanan terhadap orangtuanya," ujar Rendra.

Menurut Rendra, kemarahan ini muncul saat anak merasa frustasi, "diserang", atau keinginannya tidak terpenuhi. Sayangnya ia belum memahami cara yang lebih adaptif dalam mengungkapkan emosinya secara verbal sehingga diekspresikan lewat perbuatan. Anak belum mampu mempersepsikan kondisi frustasinya karena tidak memahami apa yang sedang dialami.

"Terlebih bila orangtua mereka sendiri terbiasa menyelesaikan masalah dengan cara berteriak, melempar atau merusak barang, atau kegiatan fisik lain," imbuhnya lagi.

"Tantrum sesungguhnya normal, namun tugas orangtua adalah untuk mengendalikan tantrum anak sedini mungkin," ungkap Elizabeth Santosa, M.Psi., psikolog anak dari Yayasan Praktek Psikologi Jakarta.

"Sebenarnya tantrum adalah hal yang sangat manusiawi. Pada saat manusia atau makhluk hidup tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, ia pasti bereaksi negatif," ujar Elizabeth.

Terlebih pada anak-anak. Menurut Elizabeth, pada anak, sistem konteks prefrontal yang berfungsi mengontrol emosi dan membedakan mana yang baik mana yang salah belum berkembang sempurna. Jadi, ketika keinginannya tidak tercapai atau rasa nyamannya terusik, anak tak tahu harus melakukan apa. Yang bisa anak lakukan adalah dengan tantrum.

"Perilaku tantrum baru dianggap sebagai masalah ketika hal tersebut menjadi strategi utama anak saat keinginannya tidak dituruti atau saat ia berbeda pendapat dengan orang lain. Untuk mengatasinya, gunakan metode modifikasi perilaku dengan mengurangi perilaku yang menggangu atau tidak diinginkan," saran Rendra.

Menurut psikolog yang juga berpraktek di Sekolah Menengah Cikal-Amri dan Yayasan Pulih ini, tantrum akan menurun frekuensi dan durasinya ketika anak-anak sudah lebih bisa mengekspresikan emosinya secara adaptif, misalnya dengan mengkomunikasikan perasaan mereka secara verbal.

Tentu saja, kemampuan tersebut juga butuh dukungan dari orangtua yang responsif terhadap anak. Respons yang keliru membuat perilaku tantrum ini menetap hingga remaja bahkan dewasa, misalnya dengan menuruti atau mengalah terhadap permintaan anak.

Anak lantas belajar bahwa mereka bisa mengendalikan situasi atau keputusan orangtua dengan menampilkan perilaku tantrum. Ini bisa berlanjut hingga dewasa.

Kedua pakar ini memaparkan sejumlah langkah yang patut dicoba kala menghadapi ledakan amarah si kecil.

Rendra menilai, reaksi lazim orangtua di Indonesia saat menghadapi tantrum anak adalah menuruti kemauan sang anak. Ini karena orangtua umumnya tidak nyaman dengan perilaku tantrum anak, apalagi bila di depan publik. Namun, tak sedikit pula orangtua yang mengabaikan anaknya ketika tantrum, dan ini sesungguhnya bisa menjadi strategi mengatasi tantrum.

"Abaikan anak ketika sedang mengalami tantrum. Biarkan ia mengalami keseluruhan tahapan tantrum hingga selesai," saran Rendra. "Namun, perhatikan kondisi di sekitar si anak. Bila membahayakan dirinya maupun orang lain, pindahkan anak ke wilayah yang lebih aman dan sepi."

Cara lain? Peluk anak erat dari belakang bila perilaku tantrum yang ditunjukkan berpotensi membahayakan. Lalu, bicaralah di telinga anak dengan nada suara lembut. Minta anak untuk tenang, terimalah emosi marahnya, dan sampaikan bahwa pelukan ini akan dilepas bila anak bisa tenang.

"Semakin tenang orangtua menghadapi anak, semakin cepat juga anak merasa tenang," ungkap Rendra.

Saran senada disampaikan oleh Elizabeth, yang menegaskan bahwa pelukan juga baik bagi anak yang sedang emosional. "Ketika anak tantrum, peluklah dia. Pelukan sangat membuat nyaman untuk anak-anak balita," tuturnya.

Umumnya, anak usia balita belum bisa diajak berkomunikasi. Karena itu, orangtua harus banyak sabar dan memberi pelukan. Yang pasti, jangan biarkan anak yang sedang tantrum, karena besok-besok dia bisa tantrum lagi. Biarkan anak mengeluarkan emosinya, namun jangan berlarut-larut.

"Katakan pada anak bahwa mengekspresikan emosi itu boleh, tapi jangan berlebihan, apalagi sampai menyakiti diri sendiri maupun menyakiti orang lain," kata Elizabeth.

Jika memungkinkan, saran Elizabeth, ajak anak ke pojok ruangan, lalu tenangkan dirinya. Atau, orangtua bisa mengambil sesuatu yang si anak suka sebagai konsekuensi agar tantrumnya mereda. Hal ini dilakukan agar anak memahami dan belajar mengelola emosi di dalam dirinya.

"Ajarkan anak bahwa ia boleh mengekspresikan emosi marah, namun mesti dengan cara, waktu, dan tempat yang tepat. Jika langkah tersebut konsisten dilakukan oleh orangtua, anak pasti bisa mengelola emosinya dengan baik dan benar," tegas Elizabeth.

Metode lain yang bisa dilakukan adalah aktivitas fisik: Kenali tanda-tanda ketika anak akan mengalami tantrum, dan segera ajak ke tempat bermain untuk melempar sesuatu ke arah target tertentu, berlari mengelilingi tempat tersebut, atau bahkan menari mengikuti irama lagu.

Rendra mewanti-wanti agar orangtua tidak memarahi anak yang sedang tantrum, karena ia akan membalas dengan berteriak dan membuat tantrumnya semakin tidak terkendali. Jangan pula memukul atau memberi hukuman fisik lain, sebab ini akan membuat anak tidak memahami fungsi atau pentingnya arti emosi marah yang dirasakan.

"Ketika tantrum mereda, ajak anak berdiskusi dan bernegosiasi. Selain untuk memperoleh keputusan bersama, anak belajar metode penyelesaian masalah yang lebih adaptif," tutur Rendra. Untuk tantrum yang sudah dikategorikan bermasalah, dapat menggunakan metode modifikasi perilaku.

Adanya ekspresi menyesal atau sayang dari anak kepada orangtua pasca-tantrum merupakan indikasi bahwa anak sudah mulai memahami bahwa perilakunya tidak sejalan dengan ekspektasi orangtua. Anak akan memahami hal tersebut bila orangtua secara konsisten mengajaknya berdialog pasca-tantrum dan menghargai emosi yang dirasakan oleh anak.

Seiring bertambahnya usia, kata Rendra, tantrum akan berkurang karena anak kian mampu mengekspresikan emosinya secara verbal. Tentu, adalah tugas orangtua untuk memberikan teladan yang baik pada anak dalam mengekspresikan emosi marah, agar anak pun tumbuh menjadi individu dengan kecerdasan emosi yang baik.


Menghitung Tantrum

Perhatikan frekuensi, interval, durasi, dan reaksi yang muncul pasca tantrum. Apabila tantrum akan menghilang, umumnya jumlah tantrum yang muncul akan berkurang dalam rentang waktu tertentu. Interval waktu kemunculan antara satu tantrum dengan tantrum yang lain pun semakin panjang. Durasi ketika tantrum muncul akan berkurang, misalnya dari 15 menit menjadi 10 menit, hingga 1-2 menit saja.


Komentar