Sudah Tepatkah Cara Anda Mengajarkan Anak Agar Bilingual?



Generasi bilingual atau bahkan multilingual muncul karena keinginan orangtua membekali anak agar siap untuk persaingan global. Sudah tepatkah caranya?

Deretan kosakata asing meluncur dari mulut-mulut mungil siswa SD sebuah sekolah di jam istirahat. Memang, percakapan berbahasa Inggris lazim digunakan dalam keseharian mereka, sehingga mereka sudah sangat terbiasa dan fasih menggunakannya.

Selain lingkungan sekolah yang mewajibkan proses belajar menggunakan bahasa asing, keberadaan multietnik di rumah atau keluarga besar menjadi alasan lain seorang anak bisa berbahasa asing. Belum lagi penggunaan bahasa Inggris dalam berbagai aspek kehidupan, seperti gadget, games, dan media.

"Dari berbagai kondisi tersebut, muncul rasa kebutuhan mengajarkan bahasa asing. Dalam hal ini, yang paling umum adalah bahasa Inggris, termasuk pilihan sekolah dengan label internasional," ujar Dianda Azani, M.Psi., Psikolog, dari Bileva Consulting.

Hal senada diungkapkan oleh Nadya Hendrawati S.Psi., M.Psi., Psikolog, dari Quantum HRM International.

"Perkembangan dunia dan era globalisasi menjadi latar belakang utama orangtua dalam menyiapkan putra-putrinya dengan kemampuan bahasa asing sejak dini," ungkap Nadya.

Ini setidaknya akan membantu proses penguasaan kemampuan komunikasi, kolaborasi, dan kompetensi lintas budaya untuk anak-anak di masa depan. Mendapatkan informasi dan pengetahuan yang lebih luas juga akan lebih mudah bagi anak.

"Konten di internet, misalnya, nyaris 50 persen berbahasa Inggris. Tentu, penguasaan bahasa internasional akan memperluas akses mereka untuk memahami banyak materi dari berbagai sumber," tandas Nadya.

Dianda mencatat sejumlah manfaat yang didapat dengan berbahasa asing.

Selain bisa berkomunikasi dengan dunia internasional, menguasai bahasa asing memicu rasa percaya diri dan menambah wawasan baru. Menguasai bahasa asing juga meningkatkan kecerdasan dan kreativitas, sebab setiap bahasa membawa kultur dan mengasah pola pikir objektif.

Menurut Nadya, sejumlah ahli menyatakan bahwa kemampuan memahami bahasa pada anak berkembang sangat baik di usia 0-6 tahun. Di usia ini, tidak masalah bagi anak untuk memahami beberapa bahasa sekaligus.

"Pada masa ini, otak anak didapati lebih 'lentur' sehingga mudah menerima pengajaran bahasa. Anak-anak juga masih sangat kritis dan mudah menangkap pelajaran bahasa secara cepat," tandas Nadya.

Sementara itu, persepsi lain menekankan pentingnya penguasaan bahasa ibu pada konteks bahasa baku sebagai dasar atau bahasa patokan. Karena itu, periode ideal mempelajari bahasa asing adalah usia 6-20 tahun.

"Jika bahasa ibu yang digunakan sehari-hari dipahami hanya setengah-setengah, begitu pula penggunaan keseharian bahasa asingnya tidak begitu baik, anak akan kesulitan menyampaikan pemikiran yang abstrak maupun mempelajari hal-hal konseptual," ujar Nadya.

Dianda mempersilakan anak berbahasa asing sejak dini, terutama bila keluarganya memang multietnik, misalnya orangtua WNI yang menikah dengan WNA. Jika bukan latar belakang keluarga, ajarkan bahasa asing ketika anak sudah lancar bicara, yakni sekitar usia 2 tahun.

Di usia ini, perbendaharaan kata anak sudah semakin banyak dan ia mampu mengutarakan keinginan, serta melabeli segala hal dengan bahasa. Di atas usia 3 tahun, bahasa ibu sudah jelas dan lancar, maka boleh ajarkan anak bahasa asing.

"Meski demikian, tetaplah berbicara pada anak dengan bahasa ibu, mengingat tahapannya yang masih dalam usia perkembangan," pesan Dianda.

Apa yang terjadi jika anak diajarkan bahasa asing terlalu dini, namun tanpa latar belakang multietnik dalam keluarga?

Anak bisa mengalami bingung bahasa. Artinya, ia terlambat dalam perkembangan bahasa reseptif. Selain itu, ada bahasa ekspresif yang dikeluarkan seseorang sebagai ungkapan atau perkataan terhadap sesuatu.

Dari bahasa ekspresif dan reseptif inilah muncul konsep, yang membantu seseorang dalam menghadapi lingkungannya. Nah, pada anak yang mengalami keterlambatan dalam bahasa reseptif, ia bisa memiliki kesulitan mengungkapkan sesuatu yang diinginkan. Akibatnya, tumbuh kembang anak bisa terganggu dan ia jadi seperti sulit diatur.

"Waktu toilet training menjadi mundur, kognisi terganggu karena konsep yang terlambat, begitu pula kemampuan akademisnya - berhitung dan membaca juga terlambat. Efeknya, anak jadi tidak percaya diri karena teman-temannya mampu, sementara dia tidak," tandas Dianda.

Tak lupa Dianda mengingatkan perlunya orangtua memberi tahu anak, kapan bahasa asing harus digunakan dan kapan tidak. Karena itu, orangtua perlu punya wawasan bahasa yang luas, termasuk cara bicara kepada anak.

"Orangtua yang sudah punya pemahaman penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan mudah meneruskannya ke anak, sehingga si anak memiliki perbendaharaan bahasa yang kaya, termasuk dalam melampiaskan emosi, baik positif maupun negatif," imbuh Dianda.

Nadya juga mengingatkan pentingnya orangtua memahami secara bijaksana tujuan awal pengajaran bahasa asing, serta kesiapan dan kecerdasan anak untuk menerima pemahaman bahasa asing yang akan diajarkan, karena setiap anak unik dan berbeda.

"Ambisi membuat anak menguasai bahasa asing tanpa pendekatan yang sesuai usia anak memungkinkan anak memandang proses belajar bahasanya sebagai hal yang sulit. Akibatnya adalah bahasa yang campur aduk, tidak percaya diri, atau bahkan gagap bahasa," tukas Nadya.

Solusinya?

Menurut Nadya, sampaikan dengan cara yang menyenangkan dan tidak menekan. Belajar dengan komunikasi langsung dalam bentuk nyanyian, bermain, atau membaca buku akan lebih efektif dibandingkan hanya dengan melihat video dan televisi.

Selain itu, untuk membuat anak tetap fasih dalam dua bahasa, pastikan ia menggunakan kedua bahasa tersebut dengan "durasi" yang sama

Nadya menyebutkan bahwa berbeda dengan berbicara, membaca dan menulis harus mengamati huruf, melafalkannya, dan kemudian menyambungnya menjadi kata, lalu memahami arti kata itu sendiri.

Nah, memahami hal tersebut dalam dua bahasa menjadi hal yang sangat tidak mudah untuk anak-anak. Mereka butuh dukungan dan juga "kerja keras" orangtua untuk membantu anak belajar membaca dan menulis dalam pemahaman dua bahasa.

Itulah sebabnya, pemahaman bahasa pengantar harian yang setengah-setengah akan berdampak pada kemampuan mereka memahami dan menjelaskan, termasuk penulisan terstruktur pada kebutuhan akademis, misalnya.

Nadya mengingatkan pentingnya kemampuan orangtua untuk terus mendampingi dan memberi pemahaman dan latihan yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak bilingual di usia dini sangat dibutuhkan.

Penanaman pemahaman, proses pembelajaran bahasa dan penggunaan yang sesuai, termasuk pembentukan sikap, sopan santun, dan membangun kepercayaan diri anak akan sangat membantu perkembangan kognitif dan psikososial di tugas perkembangan selanjutnya.

Kedua pakar ini sependapat, apa pun bahasa asing yang dikuasai, tetaplah jadikan bahasa Indonesia sebagai jati diri dan identitas kebangsaan yang kuat.

"Bahasa asing, terutama Inggris, memang lebih objektif, sementara bahasa Indonesia lebih dalam dan kaya makna emosinya. Setiap bahasa punya keunggulan masing-masing," tandas Dianda.

Level penghormatan terhadap orang yang lebih tua di bahasa Indonesia, misalnya, lebih jelas dan rinci, sementara di bahasa asing tidak demikian. Di sinilah wawasan kebahasaan dibutuhkan untuk bisa berkomunikasi dengan tepat.

Nadya mengingatkan, bahasa nasional adalah identitas bangsa. Untuk mempertahankan integritas bangsa, penguasaan bahasa Indonesia sangat penting. Yuk, jangan biarkan generasi muda merasa asing dengan bahasanya sendiri.


Komentar