Tindakan Apa yang Harus Dilakukan Jika Melihat Suami Teman Anda Selingkuh?
Tentu sangat mengejutkan apabila kita secara tak sengaja melihat dugaan perselingkuhan dari pasangan yang kita kenal. Ketika kita mau tak mau harus menjadi "saksi mata", apa yang sebaiknya dilakukan?
Susi mendadak diam. Gerakan mengunyahnya perlahan terhenti ketika pandangannya tertumbuk pada sosok Candra - suami dari Lisa, sahabatnya - yang sedang asyik mengobrol dengan perempuan yang tidak Susi kenal.
Tatapan mata dan bahasa tubuh Candra dan perempuan itu membuat Susi menduga ada yang istimewa di antara mereka. Lama Susi mengamati keduanya dari kejauhan hingga selera makannya mendadak hilang. Padahal, waktu makan siang hampir habis dan dirinya mesti kembali ke kantor, meninggalkan restoran tersebut.
Tak hanya selera makan yang rusak, peristiwa tersebut juga merusak mood dan semangat kerjanya. Terbayang sosok Lisa, sahabatnya yang baik dan lugu, yang diam-diam dikhianati suaminya sendiri. Kondisi ini pun membuat Susi dilema: apakah ia sebaiknya memberi tahu sahabatnya, atau tutup mulut?
Memang tidak mudah ketika kita harus menjadi "saksi mata" sebuah nm, seperti yang dialami Susi. Di satu sisi, kita tentu ingin menyampaikan berita tersebut pada pihak korban, namun di sisi lain kita tidak ingin ikut campur rumah tangga orang lain. Apalagi jika tindakan kita malah berpotensi menghancurkan hubungan seseorang.
Menanggapi hal ini, Esther Widhi Andangsari, M.Psi., Psikolog, staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara, mengingatkan agar kita berhati-hati, jangan cepat menyimpulkan dan membangun asumsi sendiri.
"Lakukan observasi yang kuat, karena mungkin kita tidak mengenal orang asing tersebut. Bisa jadi, ia adalah teman biasa atau keluarga yang tidak kita kenal. Selain itu, terkadang kita tidak terlalu mengerti dinamika hubungan asmara mereka seperti apa," ujar Esther.
"Saat menjadi saksi mata, kita cenderung cepat menyimpulkan dan melaporkan. Karena itu, dalam hal ini dibutuhkan kedewasaan. Latihlah diri untuk membedakan yang mana fakta, data, dan opini," saran Esther.
"Pertimbangkan juga apa dampaknya bila Anda langsung melaporkan, apakah akan berdampak positif atau justru sebaliknya? Terlebih lagi bila orang tersebut sudah berumah tangga, efek dominonya akan besar sekali," Esther mengingatkan.
Pesan yang serupa disampaikan oleh Dra. Viera Adella, M.Psi., Psikolog, staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya. "Membedakan mana yang berpotensi selingkuh dan mana yang tidak cukup sulit, butuh skills yang tinggi dan intuisi yang tajam agar bisa melihat tanda-tanda sebuah penyimpangan," ujar psikolog yang akrab disapa Della ini.
"Kalau tidak kenal dekat sekali dengan orang tersebut, sulit bagi kita membedakan mana yang termasuk perilaku biasa dan mana yang tidak. Untuk menyimpulkan atau menginvestigasinya butuh waktu lama dan intensif," Della mengingatkan.
Satu cara sederhana yang bisa dilakukan, kata Della, adalah dengan melihat reaksi pelaku saat kita melihatnya, apakah dia santai saja atau salah tingkah? Apakah dia gelagapan atau salah ucap? Dalam ilmu psikologi, "kecelakaan-kecelakaan kecil" biasanya dilakukan saat ada sesuatu yang disimpan seseorang.
Jika perselingkuhan sudah dapat dipastikan, bagaimana sikap terbaik sang saksi mata - menyampaikan pada si korban, atau diam saja?
"Keputusan yang diambil tergantung pada posisi kita terhadap si teman ini, karena itu akan menentukan motivasi. Biasanya, orang yang perhatiannya besar dipengaruhi oleh kedekatan. Semakin dekat dan perhatian, maka semakin ingin yang terbaik untuknya karena kita sayang, sehingga harus dipikirkan cara terbaik menyampaikannya," saran Esther.
"Apalagi bagi pasangan yang sudah menikah, dimana risikonya lebih kompleks. Pahami bahwa dalam satu relasi romantis, tidak mungkin hanya satu pihak yang bermasalah sehingga memicu perselingkuhan. Kedua pihak punya kontribusi," tandas Esther.
"Masalahnya, ada yang sadar bahwa dia melakukan kesalahan dan ada yang tidak, atau porsi kesalahannya berbeda. Karena itu, cara terbaik adalah dengan tidak langsung bicara fakta, tapi gali dulu informasi seputar hubungan mereka saat ini bagaimana," papar Esther.
Menurutnya, tidak semua fakta harus disampaikan. Pilihlah mana yang tepat. Hal ini hanya bisa dilakukan saat motivasinya baik. Jika ingin hubungan teman bahagia, jangan berikan fakta yang justru membuatnya bingung. Pastikan apakah saat itu hatinya siap atau tidak diberi informasi yang mengejutkan.
"Jadi, disini ada pertimbangan etis, seperti: adakah hal positif dari informasi ini? Kalau tidak ada, apalagi kita belum yakin dengan fakta tersebut, maka sebaiknya ditunda," ujar Esther.
Della mengingatkan agar sebelum mengambil tindakan, kita mengenali lebih dulu tipe "korban", apakah dia akan senang kalau kita terbuka, atau sebaliknya, dia tidak siap? Sebab, ada juga orang yang sebenarnya sudah tahu tapi tidak mau mengakui karena terlalu mengasihani dirinya dan takut yang terburuk terbukti.
"Lakukan crosscheck dengan menanyakan pada sahabat tentang kesibukan suaminya saat itu, untuk mengklarifikasikan antara fakta yang didapat dan informasi dari 'korban'. Jangan reaktif dan langsung menyampaikan, padahal informasi yang didapat masih sangat minim," ujar Della.
"Butuh kedewasaan dan sejauh mana kita peduli. Kita harus memiliki sikap terbuka yang dilandasi kedekatan dan rasa tanggung jawab. Dibutuhkan pula energi, nyali dan kesanggupan menjalani peran ini," tegas Della.
Jika ternyata sikap diam yang dipilih, Esther mencatat dua alasan yang umumnya menjadi latar belakang. Pertama, Anda tipikal orang yang cenderung berpikir baru bicara. Diam bukan berarti tidak merespons, hanya saja pertimbangannya banyak dan lama. Kedua, diam yang berarti cuek, artinya tidak mau terlibat.
"Yang memilih diam bisa jadi karena merasa tidak dekat, atau tidak peduli, atau merasa tidak punya kapasitas. Yang terakhir jumlahnya banyak sekali, dan ini sangat mengecewakan," jelas Della.
"Mengapa? Karena pada masa-masa itulah sebenarnya hubungan mereka masih bisa diperbaiki dan peran orang-orang terdekat dibutuhkan. Namun, karena banyak yang tidak memainkan peran dengan efektif, akhirnya kondisinya kadung memburuk," tandas Della.
Mengenai barang bukti, Esther memiliki pandangan tersendiri.
"Kalau sang saksi mata sempat memfoto, berarti pasti sudah ada motif untuk menunjukkan pada pihak korban. Ada juga orang yang tidak butuh fakta, cukup dengan omongan lisan, dan keberadaan alat bukti justru akan lebih melukai hatinya," Esther mengingatkan.
"Jangan sampai niatnya membantu, tapi akhirnya justru memperkeruh suasana. Posisikan diri sebagai sahabat, bukan detektif. Orang yang peduli adalah orang yang hadir ketika seseorang sedang dalam masalah, membantu membukakan pikiran dan alternatifnya, bukan membuat pusing dengan banyaknya informasi negatif yang akhirnya menumpuk emosi," tambah Esther.
"Perasaan sayang pada pasangan kadang naik-turun, inilah yang tidak bisa dipahami orang lain. Si korban tahu bahwa pasangannya selingkuh, fakta sudah dikemukakan, banyak saksi mata menyampaikan, bahkan dia sendiri sudah bisa menyimpulkan, tapi akhirnya setelah berkonflik, beberapa waktu kemudian hubungannya nyambung lagi. Orang luar tidak bisa berbuat apa-apa," jelas Esther.
"Karena itu, jangan sengaja melibatkan diri, tunggulah sampai diminta. Biarkan mereka menyelesaikan sendiri masalah mereka. Jangan sampai ada konflik baru, yaitu antara kita dan mereka. Sebagai pihak luar kita harus tahu diri, sampaikan padanya bahwa jika butuh bantuan, kita siap," saran Esther.
"Intinya, butuh kedewasaan, kedekatan, dan ketahanan sang saksi mata dalam melihat alternatif yang dapat diambil oleh pasangan tersebut," tambah Della.
Komentar