Meneliti Singa Laut Untuk Memahami Kanker


Pintu kantor membuka dan Alissa Deming bergegas masuk. Ia baru saja melakukan pemeriksaan ultra-sound pada seekor singa laut. Deming ingin bicara dengan bosnya, dokter hewan utama Frances Gulland, yang telah memantau kanker pada mamalia laut selama dua dekade.

"Aku rasa kita mendapatkan kasus," kata Deming, ahli virus hewan di Marine Mammal Center, sebuah lembaga nirlaba penyelamatan dan riset yang berkantor di Marin Headlands di seberang Golden Gate Bridge dari San Fransisco. "Rahimnya melebar dan lapisannya menebal seperti endometriosis."

Deming berpikir hewan ini adalah korban terakhir dari wabah kanker kelamin yang menjangkiti singa-singa laut California.

Gulland, yang kusam dan kurus karena bertahun-tahun menyelamatkan hewan laut, tidak terlalu yakin. Diagnosisnya berangkat dari teori terlebih-dulu-mencari-tanda-tanda-normal pada kehidupan liar. Singa laut ini, katanya, mungkin hamil, mengalami keguguran, dan ukuran rahimnya belum kembali ke normal. Namun, ia berjanji akan memeriksa hewan ini sebelum terbang ke Meksiko untuk melihat bangkai dari dua lumba-lumba vaquita langka yang terempas ke Teluk California. Deming menghargainya, ia tahu bahwa tes-tes berikutnya akan mengungkapkan apakah jaringan hewan ini terkena kanker atau tidak. "Semua orang ingin bekerja bersama Frances," kata Deming. "Semua orang."

Singa laut memiliki angka kanker tertinggi di alam liar, yang menjadi kentara ketika Gulland dan peneliti lain mulai mencatat jumlah yang mengkhawatirkan dari kanker urogenital pada hewan-hewan di lepas pantai California. Dua puluh tahun yang lalu, mereka menemukan 18% (66 dari 370) singa laut yang diperiksa sejak 1979 menunjukkan tanda-tanda kanker kemih dan kelamin yang agresif. Di tahun-tahun terakhir, mereka telah melaporkan angka tinggi yang sama. Tidak lama sesudahnya, mereka menemukan suatu virus pada hewan yang telah mati.

Riset pada singa laut ini sangat penting untuk memahami kanker yang mewabahi kehidupan liar- dan, mungkin, juga pada manusia. Mamalia laut ini memegang kunci pemahaman akan interaksi yang kompleks antara gen-gen, virus, dan lingkungan yang memicu kanker.

Sejauh ini, dengan membandingkan singa laut yang masih hidup dan bebas kanker dengan singa laut yang mati karena kanker, periset telah mengenali gen-gen tertentu yang sepertinya meningkatkan kepekaan mereka terhadap kanker. Selanjutnya, mereka berusaha menemukan peran dari virus yang disebut OtHV1. Apakah ia menyebabkan kanker? Atau ia hanya virus herpes jinak yang tinggal di saluran reproduksi singa laut?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini bisa berdampak besar pada kesehatan manusia dan hewan. Jika kita bisa memahami mekanisme yang digunakan oleh virus herpes pada sel-sel singa laut sendiri untuk menyebabkan kanker, maka saintis bisa mengembangkan cara untuk mencegah virus yang sama mengendalikan sel-sel manusia.

Pada umumnya, periset mencurigai bahwa hewan liar dari setiap spesies mendapatkan kanker, tapi angkanya tidak setinggi pada manusia. Penemuan hewan yang mengalami kanker di alam liar adalah kejadian langka, jadi perbandingannya dengan angka kanker pada manusia tidak akan akurat.

"Insidensi kanker yang menimbulkan kematian pada kehidupan liar yang kami periksa sangatlah rendah, kecuali untuk populasi tertentu," kata Valerie Shearn-Bochsler, seorang ahli patologi hewan di National Wildlife Health Center yang diselenggarakan oleh U.S. Geological Survey di Madison, Wisconsin.

Lebih dari 41 tahun, sentra nasional ini telah memeriksa 400.000 hewan. Paling tinggi 2% atau lebih rendah, yang didiagnosis dengan neoplasia atau tumor.

Kecuali jika terdapat penurunan tajam pada populasi, atau angka kasus yang sangat tinggi yang muncul pada spesies-spesies terlindungi yang terpelajari dengan baik, kematian karena keganasan kanker biasanya tidak ketahuan.

Kegagalan populasi paus beluga untuk pulih setelah berakhirnya perburuan di St. Lawrence membangunkan para periset Kanada untuk meneliti pencemaran di perairan itu, yang kemudian mengungkapkan adanya kanker.

"Selama bertahun-tahun, kami telah melihat angka kanker yang tidak biasa bagi populasi mamalia laut yang berkeliaran bebas, lebih tinggi dari penyakit lain, kecuali untuk singa laut California," kata Dr. Stephane Lair, direktur Canadian Wildlife Health Cooperative, Quebec.

Pada paus beluga, tumor dimulai di berbagai sistem, termasuk paru-paru, lambung, usus, kelenjar adrenal, kandung kemih, dan hati. Ini menunjukkan bahwa bukan virus yang menyebabkan kanker mereka.

Peraturan yang lebih ketat terhadap beberapa bahan kimia beracun yang mencemari perairan itu telah membantu situasi. Tumor-tumor ganas pada paus beluga telah menurun, kata Lair. Bagaimanapun juga, bahan-bahan kimia lain di perairan itu mungkin menghadirkan masalah, mungkin menyumbang pada peningkatan penyakit infeksi parasit dan bakteri pada paus yang masih muda, juga pada bayi beluga.

Pencemaran di lepas pantai Pasifik mungkin juga melemahkan sistem imun singa laut. Ini mungkin menjelaskan bagaimana virus yang terkandung di tubuh mereka bisa berkuasa dan berkembang menjadi kanker.

"Kami ingin mengetahui apakah bahan pencemar - PCB dan DDT - menekan respons imun singa laut dan memungkinkan virus herpes untuk berkoloni. Kami pikir bahan pencemar mengurangi kemampuan sistem imun untuk berfungsi dengan baik. Jika Anda memiliki sistem imun yang sehat, seharusnya Anda bisa mengusir penyakit," kata Gulland.

Singa laut yang mengalami karsinoma memiliki konsentrasi PCB dan DDT yang lebih tinggi di dalam lemaknya dibandingkan singa laut yang tanpa karsinoma.

Sea Lion Cancer Consortium yang baru, yang dipimpin oleh Gulland, sedang berusaha menentukan bagaimana virus membuka jalan bagi kanker pada hewan, yang juga akan memberi informasi untuk kanker manusia. Infeksi virus mungkin menyumbang 15-20% kanker pada manusia dan hewan. Virus dicurigai menyebabkan papilloma lambung pada paus beluga, juga papilloma kulit pada manatee dan lumba-lumba harbor Florida. Linfoma ganas pada lumba-lumba hidung botol Atlantik juga berasal dari virus.


Komentar