Anda Tertarik dengan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia?


Ada ragam peran komunitas. Selain mempersatukan minat dan memperluas pertemanan, komunitas juga menjadi tempat saling mendukung, seperti yang satu ini.

Bagi pasien gagal ginjal, menjalani hari-hari dengan cuci darah secara berkala tidaklah mudah. Keberadaan teman yang senasib tentu dapat saling mendukung dan menguatkan. Di sinilah peran komunitas hadir.

Bermula dari sekelompok kecil pasien yang rutin melakukan cuci darah di sebuah klinik hemodialisis di Jakarta Selatan, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) berdiri pada 15 Maret 2015, tak lama setelah perayaan Hari Ginjal Sedunia.

Karena sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama saat cuci darah, banyak yang mereka bicarakan - dari penyakit yang dialami, drama kehidupan pasien dan keluarga, hingga regulasi dan kebijakan rumah sakit maupun pemerintah.

Sejak terbentuk, komunitas ini langsung membuat gebrakan.

Mereka membuat siaran pers tentang obat-obatan untuk penyakit Gagal Ginjal Kronik (GGK) yang tidak ter-cover oleh BPJS. KPCDI juga menyuarakan diskriminasi BPJS terhadap pelayanan dialisis di sejumlah rumah sakit.

Diinisiasi oleh 15-20 orang, komunitas ini bertumbuh semakin besar. Kini, mereka memiliki lebih dari 2.000 anggota, dengan cabang tersebar di sejumlah daerah, seperti Medan, Palembang, dan Yogyakarta.

Salah satu pendiri awal komunitas yang kini menjadi Ketua Umum KPCDI adalah Tony Samosir.

Tujuh tahun lalu, Tony divonis gagal ginjal, dan pada 2016, dia menjalani transplantasi. Pengalamannya menjadi pasien membuat Tony berikrar untuk terus berjuang dengan sesama pasien melalui KPCDI.

"Gagal ginjal sesungguhnya dekat dengan kita," ujar Tony. "Ini adalah efek dari pola hidup tidak sehat, seperti kerja sampai larut malam, begadang, kurang tidur, stres tinggi, dan hidup yang semakin kompetitif."

Berdiri di atas visi membangun solidaritas dan persaudaraan antar sesama pasien, misi utama komunitas ini adalah mengkampanyekan kesehatan ginjal pada publik.

"KPCDI juga berupaya mendesak pemerintah untuk membentuk lembaga donor organ, mengkampanyekan donor organ, serta memberikan masukan kepada pembuat kebijakan untuk menghasilkan regulasi yang berpihak kepada pasien," tandas Tony.

Selain itu, komunitas ini melakukan advokasi kepada pasien yang mengalami masalah dalam perawatan. Mereka juga kerap berdonasi membantu anggota yang mengalami masalah keuangan.

Yang tak kalah penting, komunitas ini memiliki target memperbaiki sistem layanan kesehatan. Mereka ingin sistem kesehatan yang lebih simpel, tanpa diskriminasi, dan memiliki kemudahan akses mendapat obat.

Selain pasien, KPCDI terbuka untuk dokter, perawat, pemerhati ginjal, peneliti, akademisi, serta pendamping pasien. Keluarga atau pendamping inilah yang menurut Tony justru lebih aktif dari pasien.

"Pasien gagal ginjal kerap down, tidak peduli atau pasrah dengan kondisinya. Mereka merasa lelah dan ingin menyerah, bahkan tidak mau cuci darah," ungkap Tony. "Di sinilah KPCDI hadir untuk membantu untuk mengedukasi pasien dan keluarga, bagaimana menjalani hari-hari dengan dialisis."

Bagaimana cara bergabung dengan KPCDI?

Umumnya, setelah terdiagnosis gagal ginjal, pasien maupun keluarga mencari informasi seputar dialisis dan komunitas. Dari situlah mereka menemukan keberadaan komunitas ini dan mendaftar.

Setelah registrasi, pengurus KPCDI akan mengevaluasi dengan melakukan klarifikasi ke rumah sakit yang bersangkutan tentang diagnosis dan riwayat dialisis pasien.

Langkah ini dilakukan untuk mencegah masuknya calo organ yang banyak beredar. Setelah ditelusuri dan hasilnya baik, barulah pasien diterima sebagai anggota melalui cabang terdekat.

Itulah yang dilakukan oleh Catur Widjajanti (23 tahun).

Setelah sahabat yang kemudian menjadi suaminya terdiagnosis gagal ginjal kronis pada 2014, Catur mencari informasi tentang transplantasi dan tiba di laman KPCDI. Dia pun memutuskan bergabung.

"Awalnya, saya gabung karena ingin tahu tentang transplantasi. Tenyata, ada banyak ilmu lain. Saya juga menemukan banyak teman, motivasi, dan inspirasi," kisah Catur.

"Dari sekian banyak komunitas yang saya kenal, hanya KPCDI yang punya visi dan misi konkret. Komunitas ini sangat aktif membantu pasien menghadapi berbagai problem, baik terkait penyakit maupun birokrasi rumah sakit," ungkap Catur.

Mas Atok (24) - begitu suami Catur disapa - masih rutin cuci darah dua kali seminggu. Pengalaman paling berkesan adalah saat KPCDI mampu mengubah kebijakan di rumah sakit tempat suaminya melakukan dialisis.

"Saya harap KPCDI menjadi organisasi besar yang bisa membantu banyak pasien, juga mempromosikan kegiatan preventif untuk mereka yang masih sehat," tandas Catur.

Manfaat yang sama dirasakan Thomas (39), yang bergabung dengan KPCDI sejak 2016. Thomas mengaku komunitas ini banyak membantu, terutama saat pasien mengalami perlakuan kurang baik.

"Dulu, ada rumah sakit yang menggunakan satu mesin dialisis berulang-ulang. Ini berakibat kurang bagus pada hemodialisis pasien," ujar Thomas.

"KPCDI mengingatkan agar rumah sakit tersebut mengikuti aturan PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) untuk maksimal penggunaan tujuh kali, dan mereka menurut," tutur Thomas.

Thomas berharap KPCDI tetap berada di belakang pasien dengan mengutamakan advokasi dan edukasi, juga terhadap masyarakat luas.

Sementara itu, Tony berpesan agar seluruh komunitas tetap bersemangat.

"Ketika kita tidak bisa mengubah sebuah keadaan, cara terbaiknya adalah menerima dan berdamai," tegas Tony. "Tetaplah positive thinking dan jangan menyerah."

KPCDI memiliki ragam kegiatan, dari seminar edukasi untuk pasien maupun awam sampai piknik bersama. Tolong menolong kala berobat, seperti berbagi antrean di rumah sakit, juga menjadi kebiasaan rutin.
Kenali komunitas ini lebih jauh melalui

www.kpcdi.org
E-mail: info@kpcdi.org
Facebook: Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia
Instagram & Twitter: @kpcdi
WhatsApp & Telegram: 08111501503


Komentar