Kesehatan Jiwa Sama Pentingnya Dengan Kesehatan Fisik



Kesehatan mental sama penting dengan kesehatan fisik. Namun, stigma negatif yang melekat membuat kita masih abai.

Berbagai peristiwa dalam hidup sesungguhnya meninggalkan dampak pada jiwa, baik secara ringan maupun berat - mulai dari gangguan cemas, stres, hingga depresi berat yang berujung bunuh diri.

Menurut data Riset Kesehatan Dasar RI, gangguan jiwa berat seperti skizofrenia "hanya" 10 persen dari populasi. Angka yang sama juga berlaku pada penderita depresi berat, sementara yang paling tinggi adalah gangguan cemas dan depresi ringan, yakni 20-25 persen dari populasi.

Sama seperti kesehatan fisik, problem kesehatan jiwa tak bisa diabaikan begitu saja, sebab jiwa yang sehat bukan hanya penting untuk individu, melainkan juga kehidupan bermasyarakat. Jiwa yang sehat merupakan salah satu syarat wajib untuk bisa menikmati hidup.

"Jiwa yang sehat bisa membuat seseorang menyenangi kehidupannya, menyenangkan orang lain, serta memberikan perhatian pada orang lain dan diri sendiri," papar Dr. Suryo Dharmono, Sp.KJ(K), staf pengajar Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran UI/RSCM.

Tak hanya itu.

Jiwa yang sehat juga bisa membagikan dan merasakan cinta orang lain, sehingga dia menjadi pribadi yang produktif. Bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain, selanjutnya mampu membangun suasana yang kondusif untuk lingkungannya.

Tanpa sehat jiwa, tidak mungkin menyehatkan badan. Contoh, karena mengalami depresi, seseorang tidak punya motivasi dan gairah hidup. Dia pun menjadi tidak semangat untuk berolahraga atau memilih makanan yang sehat.

"Salah satu titik awal untuk sehat raga adalah sehat jiwa. Ketika punya motivasi sehat jiwa, seseorang bisa merawat segala sesuatu di kehidupannya, baik fisik, psikologis, dan sosial," tandas Dr. Suryo.

Jiwa yang sehat, menurut Dr. Eka Viora, Sp.KJ, Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PP PDSKJI), ditandai dengan beberapa komponen.

Di antaranya, seseorang bisa memahami dan sadar terhadap kondisinya, serta mengukur kemampuan diri, tidak merasa dirinya paling hebat. Dia juga nyaman bersama orang lain dan tidak curiga terus. Kecurigaan berlebihan menandakan jiwa yang tak sehat.

"Gangguan kejiwaan berdampak pada 3P, yaitu pikiran, perasaan, dan perilaku. Kalau sudah terganggu, misalnya perasaannya, emosinya bisa turun dan bisa jatuh pada kondisi depresi. Kalau naik, bisa jadi dalam kondisi manik. Jika fluktuasi, kemungkinan gangguan emosi bipolar," ujar Eka.

Sementara itu, gangguan pada pikiran bisa macam-macam bentuknya, seperti tidak realistis, merasa diri paling hebat, merasa ada yang memata-matai, merasa curiga, dan hal-hal tidak realistis lain. Gangguan pada perilaku bisa saja menyerang orang lain.

"Bila sudah mengganggu fungsi kehidupan sehari-hari, maka bisa disebut gangguan. Sedih karena kehilangan orang yang dicintai dalam periode tertentu merupakan sesuatu yang wajar, misalnya," papar Dr. Eka.

"Jika berkepanjangan, misal sampai enam bulan, dan timbul dampak seperti tidak mau beraktivitas, tidak mau makan, tidak mau tidur, bahkan ingin mati, inilah yang disebut gangguan jiwa," jelas mantan Direktur Banyak Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan ini.

Bicara problem kesehatan jiwa tak lepas dari stressor atau pemicu stres.

"Masalah atau gangguan akan timbul saat kita tidak mampu mengatasi stressor tersebut. Artinya, mekanisme penyelesaian masalah tidak berfungsi dengan baik dan malah mencari alternatif sendiri yang sering kali membahayakan diri," ungkap Dr. Eka.

Padahal, stres merupakan sesuatu yang wajar. Stres dibutuhkan dalam kondisi atau tahap tertentu. Agar tidak terjadi permasalahan, seseorang perlu memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan mengatasi masalah yang dihadapi.

"Dalam hal ini, peran support system sangat besar. Keberhasilan perempuan dan laki-laki dalam mengatasi gangguan jiwa yang dialami tergantung support system yang dimiliki," kata Dr. Eka. "Ini adalah tren positif yang ada saat ini, dalam bentuk komunitas."

Ini sangat penting terutama bagi mereka yang suka memendam emosi dan enggan bercerita masalah kejiwaan yang dialami. Dengan adanya support system, orang sudah tidak malu lagi untuk bercerita dan berbagi pengalaman.

"Banyak pasien dengan keluhan fisik yang sudah berobat terus-menerus tapi tidak ada penyelesaian. Ternyata, problemnya ada di mental dan emosional yang tidak bisa diatasi. Inilah yang harus dicarikan solusi," papar Dr. Eka.

Apa penyebab kesehatan jiwa masih dipandang sebelah mata, tak seperti kesehatan fisik?

Menurut Dr. Suryo, ini tak lepas dari kondisi dasar bahwa masyarakat mengenal kesehatan jiwa dari pembangunan beberapa rumah sakit jika di sejumlah kota. Orang mengenal kesehatan jiwa dari penyakit jiwa, sementara penyakit jiwa mendapat stigma negatif.

"Inilah sebabnya Kesehatan jiwa menjadi terpinggirkan, karena kita berangkat dari negative mental health, bukan positive mental health," tegas Dr. Suryo.

Karena itu, Dr. Suryo menyambut baik kebijakan pemerintah saat ini yang memulai pelayanan kesehatan jiwa dari puskesmas sebagai upaya mengubah stigma negatif yang kadung melekat pada gangguan jiwa.

Sementara itu, Dr. Eka mengungkap bahwa tantangan mengatasi kesehatan jiwa saat ini adalah kondisi masyarakat yang masih belum peduli dengan problem kesehatan jiwa, termasuk gangguan jiwa berat.

Kabar baiknya, saat ini ada UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang sudah ditindaklanjuti dengan program-program promotif dan preventif. Dengan adanya UU tersebut, pengobatan dan rehabilitatif dapat dilaksanakan di semua level layanan.

Program PP PDSKJI sendiri sudah melakukan perencanaan aksi yang tetap sesuai visi misi perhimpunan selaras dengan program pemerintah, yakni bagaimana masyarakat Indonesia bisa mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa yang berkualitas.

Selain itu, program ini berupaya meningkatkan kompetensi dokter spesialis, menyelenggarakan berbagai macam pelatihan, kongres, dan seminar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, serta melakukan penelitian dan inovasi pelayanan.

Tentu, masyarakat juga harus digerakkan. Di sinilah peran sektor sosial lain harus mendukung, seperti LSM, komunitas, dan keluarga, dalam memperbaiki sistem kesehatan jiwa. Bersama-sama, mari kita perbaiki stigma negatif kesehatan jiwa di masyarakat.


Komentar