Pentingnya "Toilet Training" Diajarkan pada Si Kecil



Toilet training adalah salah satu kemandirian yang perlu diajarkan pada si kecil. Ini penting agar anak tak bergantung pada popok sepanjang hari.

Si kecil tampak mengejan, menyendiri di sudut, meremas celana, atau menyilangkan kaki?

Para orangtua pasti tahu, ini adalah tanda-tanda anak ingin berkemih atau buang air besar. Yang mungkin belum terlalu disadari adalah bahwa ini sesungguhnya menjadi salah satu langkah awal mengajarinya toilet training.

Menurut Siti Jessika A., M.Psi., Psikolog, dari Seven Consulting, toilet training berarti proses melatih anak agar mampu menggunakan toilet secara mandiri, baik buat buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB), dan membersihkan diri sendiri setelahnya.

"Dengan demikian, anak tidak lagi tergantung pada popok sekali pakai maupun harus buang air di dalam celana," menurut psikolog yang akrab disapa Chika ini.

Masih ada manfaat lain dari toilet training.

"Orangtua pun dapat bangga jika anaknya sudah dapat menggunakan toilet secara mandiri. Mereka dapat mengalokasikan biaya beli popok untuk keperluan lain yang lebih penting," tandas Chika yang juga berpraktik di Unique Growing Mind Preschool and Daycare.

Adilia Lutfi, M.Psi., Psikolog, dari Kinderfield Duren Sawit, menyebutkan bahwa selain mengajarkan kemandirian, toilet training juga menjadi peluang orangtua untuk mengajarkan anak tentang area pribadi di tubuhnya.

"Anak menjadi lebih sadar akan kemampuannya dan fungsi dari tubuhnya sendiri, dan bahkan mampu untuk merencanakan waktu yang tepat untuk ke kloset," tandas Adilia.

"Selain itu, menguasai keahlian toileting menumbuhkan rasa percaya diri anak dan kemampuan yang memperkaya ranah perkembangannya," tambahnya.

Kapan toilet training bisa dimulai?

Saat anak sudah menunjukkan kesiapan secara fisik dan orangtua pun siap secara mental dan komitmen. Idealnya adalah ketika anak berusia dua tahun, dan ini bisa dimulai dengan memperkenalkan konsep basah dan kering terlebih dahulu.

Usia ini menjadi pas untuk mulai mengajarkan toilet training, menurut Adilia, karena di usia tersebut anak sudah dapat menaikkan dan menurunkan bawahan. Ia sudah mampu mendengar dan memahami instruksi sederhana dengan baik.

Sementara itu, Adilia menjelaskan bahwa toilet training melibatkan proses imitasi awal dan belajar yang diikuti pemahaman setahap demi setahap akan pola yang kompleks, sehingga setiap kemajuan penting untuk dihargai.

"Ini dimulai dari observasi, exposure, adanya kesempatan dan latihan, diikuti banyaknya interaksi yang menyenangkan dan penguatan positif dari orang dewasa," jelas Adilia. "Contohnya ketika anak mandi, ke toilet, atau menjalani pemeriksaan kesehatan bersama orangtua."

"Yang perlu orangtua ingat, toilet training bertujuan untuk mengembangkan rutinitas, sama halnya dengan waktu makan, tidur, atau mandi. Bahwa ini merupakan proses yang natural dan universal," papar Adilia.

Chika menekankan pentingnya membiarkan anak berkembang sesuai waktunya, jangan mempercepat atau memaksakan prosesnya.

"Biarkan anak memutuskan kapan harus BAB. Anda bisa mengingatkan dan memberi saran, namun jangan memaksa. Harapi kegagalan anak dalam mengontrol BAK dan BAB dengan sikap alami dan terbuka," kata Chika.

"Ini merupakan bagian dari proses pertumbuhan dan pembelajaran yang dihadapi semua anak. Jangan menunjukkan sikap jijik atau marah. Responlah sesegera mungkin begitu anak menunjukkan urgensi untuk BAK atau BAB," saran Chika.

Psikolog ini menyatakan bahwa penggunaan reward - seperti makanan atau mainan kesukaan anak - saat anak berhasil toilet training boleh-boleh saja dilakukan.

"Yang penting, orangtua bersikap konsisten bahwa reward tersebut hanya diberikan jika anak berhasil atau selama reward tersebut cukup membuat anak semangat untuk mencoba toilet training," kata Chika.

Menurut Chika, yang membuat orangtua lalai, menunda, atau bahkan mengabaikan toilet training adalah ketiadaan komitmen untuk mendukung anak dalam belajar.

"Proses ini butuh pembiasaan dan rutinitas. Misalnya, anak dibawa ke toilet untuk BAK setiap dua jam sekali. Nah, sering kali orangtua cepat menyerah ketika anak masih mengompol berkali-kali dan mulai memakaikan popok kembali," kata Chika.

Akibatnya, anak jadi tidak terbiasa dengan celana yang basah dan tidak dapat mendeteksi keinginan untuk BAK. Apalagi, karena tidak sabar, orangtua cepat marah ketika anak mengompol atau BAB di celana.

"Akhirnya anak menjadi takut, mungkin ada yang menjadi menahan BAK dan BAB atau malah ada yang menjadi takut dan tidak mau berlatih toilet training," tandas Chika.

Karena itu, penting bagi orangtua untuk bersabar serta bersikap normal ketika anak mengompol atau BAB di celana saat masa toilet training.

"Katakan 'Tidak apa-apa, lain kali kalau sudah merasa mau pipis atau pup, kita ke toilet ya,'" saran Chika. "Lantas, langsung bawa anak ke toilet untuk mengajarkan cara membersihkan diri, sehingga anak tahu apa yang seharusnya dilakukan jika ingin BAB dan BAK."

Adilia mengingatkan bahwa toilet training merupakan tahapan yang cukup menekan bagi anak karena di sini anak mulai belajar mengenali dan mengontrol tubuhnya secara mandiri. Tekanan dan ekspresi kecewa orangtua dapat menambah tekanan yang sudah dimiliki anak.

"Jangan gunakan hukuman ketika anak menangis atau marah karena harus duduk di toilet. Hukuman akan memberikan kesempatan bagi anak untuk menghindari toilet training," tandas Adilia.

"Jangan pula menetapkan ekspektasi terlalu tinggi terhadap keberhasilan anak. Toilet training dapat memakan waktu beberapa minggu atau bulan, tergantung dari kesiapan dan kemampuan anak," kata Adilia.

"Intinya, pastikan anak siap dan ajarkan secara perlahan. Bersikaplah fleksibel serta jangan bandingkan anak dengan anak lain. Diharapkan di usia tiga tahun, anak sudah dapat menguasai toilet training dengan baik dan bebas dari popok," pungkas Adilia.


Strategi "Toilet Training"

* Hilangkan ketakutan anak terhadap pispot atau toilet dengan menjelaskan kegunaannya sehingga anak bersemangat untuk mencoba.
* Bacakan buku cerita yang berhubungan dengan toilet training.
* Berikan instruksi sebelum dan sesudah BAK dan BAB.
* Contohkan bagaimana membuka celana dan menggunakan toilet serta bagaimana membersihkan diri setelah BAK dan BAB.
* Semangati anak sesering mungkin.
* Ajari anak mengucapkan kata-kata yang berhubungan dengan BAK dan BAB, misalnya, "Ma/Pa, aku mau pipis."
* Bawa anak ke toilet setiap 1-2 jam untuk pipis.
* Jika mengompol, sikapi dengan tenang, lalu ajak anak membersihkan diri ke toilet.
* Sebelum tidur siang dan tidur malam, ajak anak ke toilet dulu.
* Setiap kali bangun tidur, langsung ajak ke toilet.
* Satu jam sebelum tidur siang atau malam, usahakan agar anak tidak terlalu banyak aktivitas fisik dan minum.


Tanda Anak Siap

* Sudah bisa berjongkok.
* Sudah dapat duduk tegak.
* Mampu duduk tenang selama 2-5 menit.
* Menunjukkan rasa ingin tahu ketika orangtua ke kamar mandi.
* Dapat merasakan tanda-tanda ingin BAK dan BAB.
* Mulai dapat menahan keinginan untuk BAK dan BAB.
* Popoknya kering selama 2-3 jam.
* Tidak lagi mengompol saat tidur siang.
* Dapat menaikkan dan menurunkan celana sendiri.


Komentar