Manfaatkan Kemajuan Teknologi di Era Digital untuk Mempererat Hubungan



Saat teknologi dan media sosial menjadi bagian dari hidup, memelihara komitmen dengan pasangan pun memiliki tantangan tersendiri.

Ponsel kita adalah benda super sibuk, dengan notifikasi pesan masuk yang nyaris tak pernah berhenti dalam sehari.

Balasan grup WhatsApp, belum lagi akun Twitter, Facebook, dan Instagram, menghubungkan kita dengan banyak orang. Meski ini membawa potensi tersendiri bagi dunia karier, era digital juga membawa risiko masuknya pihak ketiga yang mengancam hubungan cinta.

Memang, menjaga komitmen bukan perkara mudah. Godaan selalu ada, termasuk di era digital, ketika tak ada lagi batas ruang dan waktu untuk berinteraksi dengan siapa pun.

"Di era digital, kita sangat mudah berkenalan dan menjalin pertemanan dengan siapa saja. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri dalam menjaga komitmen dengan pasangan," ungkap Isni Prihatini Noviansjah, M.Psi., Psikolog, psikolog klinik dari Yayasan Pulih.

"Selain itu, faktor dalam diri juga menjadi penggerus komitmen. Sikap egois, merasa pintar, tidak peduli dan tidak percaya terhadap pasangan merupakan sebagian sikap yang dapat menggerus komitmen yang telah dibangun," papar Isni.

Bagaimanapun, media sosial dan perkembangan teknologi merupakan hal yang tidak bisa dihindari.

Adinda Tri Wardhani, M.Psi., Psikolog, menilai tantangan bagi pasangan saat ini semakin besar karena setiap individu kini mudah mengungkap segala yang terjadi dalam rumah tangganya ke ruang publik - membuat hubungan tersebut mudah dipengaruhi faktor eksternal.

"Ada banyak faktor eksternal yang sulit dikendalikan, seperti orang yang pamer kemesraan, memperlihatkan kesuksesan atau fasilitas yang didapat pasangan, atau peluang berkomunikasi intensif dengan siapa pun yang dapat memengaruhi kepercayaan terhadap pasangan," papar Adinda.

Menurutnya, setiap rumah tangga memiliki kisah dan tantangan yang berbeda dalam menjaga komitmen. Faktor yang lazim memengaruhi adalah ketika pasangan sudah terjebak dalam rutinitas.

Adinda menegaskan perlunya kita menyadari kembali tujuan bersama yang ingin dicapai. Tujuan tersebut perlu dievaluasi, diperbaiki, atau mungkin diubah dan disepakati bersama. Komunikasikan hal ini secara terbuka dengan pasangan.

Bagaimana dengan ruang privasi untuk setiap individu? Batasan privasi pasangan di era digital terkait personal gadget, seperti email, chat, dan media sosial lain, sangat tergantung pada kesepakatan awal yang dibuat.

"Setiap kita mempunyai sisi privasi yang kadang tak ingin diketahui orang lain, termasuk pasangan," tegas Isni. "Namun, apabila hal tersebut dapat dikomunikasikan dengan baik, maka itu tidak menjadi masalah berarti."

Di sini, kepercayaan menjadi faktor penting. Pasangan yang terbuka tidak perlu batasan privasi. Sangat mungkin bagi seorang istri mengetahui aktivitas suami di luar rumah, mengenal teman-temannya, dan mengetahui secara umum bidang kerja yang dijalani.

"Begitu pula sebaliknya. Keterbukaan akan sangat membantu terjalin komunikasi yang efektif, sehingga apa pun permasalahan yang dihadapi dapat dibicarakan dan ditemukan solusi bersama," timpal Adinda.

Kedua psikolog ini sepakat, menjaga komitmen merupakan upaya tanpa henti.

"Komitmen bukan sekedar ucapan, perlu diwujudkan dalam perilaku konsisten dengan menjalankan tanggung jawab masing-masing sesuai nilai dan aturan yang telah disepakati bersama," tandas Isni. "Ini juga disertai kesetiaan, keterbukaan, saling pengertian, dan menerima kelebihan dan kekurangan pasangan."

Menurut Isni, membangun komitmen ibarat membangun sebuah rumah. Jika membuat desain rumah yang diinginkan penting, begitu pula membangun komitmen. Langkah awalnya adalah menetapkan tujuan atau hasil diinginkan oleh kedua belah pihak.

Lantas, untuk menguatkan komitmen yang telah dibangun, dibutuhkan sikap percaya, peduli, toleransi, saling menghargai dan menjaga kepercayaan yang diwujudkan dalam bentuk tindakan yang konsisten.

"Adanya pemberian reward atas hal-hal positif yang dilakukan oleh pasangan juga dapat memperkuat komitmen yang terjalin," tandas Isni. "Reward tidak harus selalu berupa materi, namun bisa dalam bentuk menghabiskan waktu bersama melakukan aktivitas yang menyenangkan."

Ia menambahkan bahwa hal-hal kecil dan sederhana, seperti pelukan hangat dan ciuman di kening, juga dapat memupuk komitmen, terlebih bila dilakukan secara rutin.

"Semua orang yang menikah dan membuat komitmen di awal berumah tangga tentu menginginkan pasangan hingga akhir hayat," tandas Adinda.

"Namun, seiring waktu berjalan, sering kali pasangan melupakan target tersebut. Karena itu, mengutarakan impian, tujuan, dan harapan bersama perlu dilakukan berkala guna memperkuat komitmen dalam jangka waktu lama," jelas Adinda.

Ia menegaskan, salah satu langkah penting menjaga komitmen adalah dengan membuat pasangan merasa nyaman dengan apa pun yang kita lakukan. Artinya? Kita mengetahui dengan tepat apa yang diinginkan pasangan dari sikap kita dalam merespons situasi.

"Contoh, ketika istri mengetahui suami tidak suka membuka persoalan rumah tangga menjadi konsumsi publik, maka sang istri harus bisa menahan diri untuk tidak menceritakan hal tersebut," papar Adinda.

Tidak bisa dipungkiri, keberadaan gawai dan media sosial berisiko memicu konflik dengan pasangan.

"Selain memudahkan untuk berkomunikasi jarak jauh, sebagian orang memanfaatkan gawai dan media sosial sebagai sarana untuk mengekspresikan diri melalui unggahan foto atau video dengan penampilan terbaik," ujar Isni.

"Nah, dengan paparan gambar atau video ini, disertai chatting yang dilakukan secara instan bisa saja membuat seseorang menjadi tertarik dengan orang lain dan mengabaikan pasangan," Isni menganalisis.

Hal ini tentu dapat menimbulkan potensi konflik, seperti kecemburuan saat melihat pasangan chatting dengan wanita/pria lain (apalagi bila menggunakan sapaan mesra), memajang foto bersama teman wanita/pria, atau mengomentari foto teman wanita/pria tersebut.

Kecemburuan yang disertai rasa curiga bisa meningkat menjadi kekesalan, kemarahan, adu argumen, dan berujung pada kebencian terhadap pasangan.

"Bahkan, yang lebih ekstrim, bisa terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Bila tidak didukung oleh penyelesaian masalah yang baik, maka komitmen hubungan yang dijalin bisa kandas," Isni mengingatkan.

Indikator komitmen mulai diingkari dapat dilihat dari sikap pasangan. Misalnya, jika pasangan menunjukkan perilaku kurang percaya, skeptis, egois, pesimis, tidak jujur, dan berbagai sikap penolakan terhadap sesuatu hal dengan mengemukakan berbagai alasan.

Sementara itu, Adinda menandaskan bahwa potensi konflik sering kali muncul jika salah satu pihak mencoba mengendalikan pengaruh eksternal terhadap pasangannya, juga adanya ketidaksepakatan mengenai perilaku pasangan dalam merespons situasi eksternal.

"Salah satu penyebab komitmen mulai diingkari adalah jika pasangan melupakan target bersama yang ingin dicapai, sehingga ia merasa tidak perlu menampilkan tanggung jawab untuk mencapainya," tukas Adinda.

Apa yang dilakukan saat pasangan mulai menunjukkan tanda-tanda mengingkari komitmen?

"Cobalah untuk tetap tenang dan bijak menghadapinya. Bicarakan baik-baik dengan pasangan tanpa ada unsur menghakimi atau kebencian," saran Isni.

"Mintalah bantuan dan dukungan dari orang-orang terdekat bila memang merasa perlu, terutama saat pasangan mulai melakukan kekerasan terhadap Anda," lanjutnya.

Ragam media sosial yang memudahkan kita untuk berbagi gambar, video, atau chat mungkin cukup merisaukan sebagian orang yang telah memiliki pasangan. Karena itulah, penting menjaga kepercayaan pasangan dengan membangun komunikasi intens dan sikap terbuka.

Mari saling mengingatkan dengan pasangan tentang komitmen yang telah disepakati bersama. Jadikanlah kemajuan teknologi di era digital sebagai media komunikasi untuk mempererat komitmen dan perekat hubungan, bukan sebaliknya.


Komentar