Anak yang Kritis akan Mampu Berpikir Kreatif dan Solutif



Setumpuk tantangan era modern menuntut anak masa kini untuk bersikap lebih kritis. Apalagi, anak yang kritis akan lebih mampu berpikir kreatif dan solutif.

"Bunda, apakah si meong juga pergi ke surga setelah mati?"

"Ma, kenapa sih anak itu tidak sekolah dan malah jadi pemulung?"

"Ayah, mengapa cara berdoa Tante Ully beda dengan kita?'

Sebagai orangtua, Anda tentu pernah mendapat pertanyaan tak terduga dari anak. Meski kerap dibuat terhenyak, sepintas kita bangga, karena pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan keingintahuan anak untuk mempelajari sesuatu.

Dengan kata lain: anak telah menunjukkan sikap kritis.

"Anak yang kritis adalah anak yang memiliki ciri-ciri rasa ingin tahu serta daya juang yang besar, motivasi yang terarah, dan keinginan untuk belajar lebih baik, baik dalam bidang yang menjadi minatnya atau bidang lain yang ingin ia ketahui," papar Cecilia Helmina Erfanie, M.Psi., Psikolog, dari Pion Clinic.

Menurut Cecilia, anak yang berpikir kritis akan mampu menentukan sikap dan memiliki pendirian yang tepat terhadap dinamika perubahan zaman. Tanpa sikap kritis dan selektif, anak akan mudah terpengaruh dengan berbagai isu atau informasi yang ada.

"Akibatnya, anak tidak mampu menyaring pengaruh-pengaruh negatif bagi dirinya dan masa depannya. Terlebih saat ini, anak harus mampu mengambil sikap, percaya diri dalam menghadapi kondisi lingkungan, pendidikan dan pergaulan," tandas Cecilia.

Sejatinya, setiap anak lahir dengan refleks untuk mempertahankan diri, dan ini membuatnya harus berpikir. Namun, kemampuan berpikir kritis memang harus dikembangkan dan difasilitasi untuk berkembang.

"Jika seorang anak tidak dilatih dan terlatih untuk berpikir kritis, tentu kemampuannya dalam mengevaluasi dan mengembangkan pemikiran baru menjadi kurang optimal," papar Nadya Hendrawati S.Psi., Psikolog, dari Quantum HRM International.

Menurut Nadya, anak usia 4-6 tahun sudah mulai dapat diajarkan konsep berpikir kritis. Karena itu, ajarkan anak sejak dini sesuai usianya. Dengan demikian, Anda akan membantu anak secara aktif membangun pertahanan diri terhadap serangan informasi di sekelilingnya.

Menurut Cecilia, sikap kritis dapat terus dikembangkan dan diasah dengan pola asuh yang terbuka dan tidak otoriter.

"Beri kesempatan pada anak untuk mengeksplorasi lingkungannya. Balita, misalnya, akan terus melontarkan pertanyaan apa, siapa, kenapa. Manfaatkan ini untuk melatih kemampuan berpikir kritis pada anak," ujar Cecilia.

Sementara itu, Nadya mencatat pentingnya mengembangkan daya observasi anak. Contohnya, melalui pengamatan, kita bisa memberi stimulus tentang bentuk, memahami tentang benda dan rasa, dan membedakan pasir, tanah, dan air.

Atau, minta anak melihat apa yang salah dari sebuah gambar. Anda juga bisa mengajak anak melakukan pengandaian dengan minta mereka membayangkan sesuatu. Misalnya, jika mati lampu, apa yang akan terjadi?

Nadya juga menyarankan untuk melatih anak mencari alternatif dalam melakukan sesuatu. Misal, minta anak mencari cara lain untuk memindahkan air selain dengan gayung. Mulailah dari hal yang sederhana sampai yang lebih kompleks, sesuai tingkat perkembangan dan usia anak.

Nadya menyayangkan masih banyak orangtua dan pendidik yang kurang mampu mendorong anak untuk kritis.

"Ada kecenderungan untuk tidak mau ribet, sehingga kita lebih banyak memberikan jawaban tunggal yang benar dan dengan cara imitatif, ketimbang mendorong anak-anak untuk mengembangkan pemikirannya," tandas Nadya.

Mengapa? Masyarakat konvensional masih memandang sikap kritis sebagai bagian dari unsur kurang santun. Sebaliknya, standar karakteristik positif pada budaya konvensional adalah sikap yang menghormati, menurut, dan berbesar hati.

Masalahnya, perkembangan saat ini, peningkatan kualitas pola pikir, dan pendidikan menjadikan berpikir kritis suatu kemampuan yang harus dimiliki oleh generasi yang ingin membawa perubahan.

Nadya menilai, masyarakat saat ini sudah memahami kebutuhan berpikir kritis untuk dapat membawa perubahan dan penyesuaian dengan perkembangan globalisasi.

"Media sosial menjadi salah satu gambaran bagaimana masyarakat dari berbagai lapisan kini 'dekat' dengan kemampuan berpikir kritis. Saya katakan 'dekat' karena masih banyak yang mudah termakan hoaks," tukas Nadya.

Karena itu, psikolog ini mengajak kita untuk mendorong anak terlibat dalam diskusi yang baik. Jangan takut anak akan dianggap "tidak sopan" atau "tidak baik" karena mengemukakan pendapatnya. Berpikir kritis tetap sangat mungkin dilakukan dengan gaya penyampaian yang tetap mengedepankan nilai-nilai kesantunan.

"Arahkanlah anak-anak pada debat yang menuju pemecahan masalah. Bukan sekadar memotong dan menghentikan anak, lalu menghakiminya sebagai tidak sopan, tanpa arahan yang membuat mereka paham apa yang sebaiknya dilakukan," tegas Nadya.

Ingatlah, memiliki sikap kritis penting bagi anak, karena kemampuan tersebut akan bermanfaat menjadi filter untuk menyaring informasi dan membawa perubahan positif menuju hal yang lebih baik, efektif, dan potensial.

Anak yang kritis juga akan mampu berpikir kreatif dan solutif. Artinya, ia mampu melihat alternatif solusi dari berbagai sudut pandang berbeda. Untuk itu, arahkanlah anak-anak untuk menganalisis, menyimpulkan, menghubungkan, mengumpulkan informasi, mengkritik, menciptakan, dan mengevaluasi.

"Komitmen dan motivasi orangtua dan pendidik untuk tidak mudah lelah meladeni dan menjaga rasa ingin tahu anak menjadi salah satu kunci utama dalam mengarahkan anak-anak untuk berpikir kritis," pungkas Nadya.


Komentar