Negara Kita Belum Bebas dari Tuberkulosis


Indonesia menempati peringkat kedua negara dengan kasus tuberkulosis terbesar. Padahal, TB bisa disembuhkan dengan kepatuhan berobat dan lingkungan yang sehat.

Selain HIV, TB merupakan penyakit dengan stigma yang melekat, salah satunya adalah anggapan bahwa penyakit tersebut adalah kutukan.

Kini, stigma tersebut perlahan memudar seiring kesadaran masyarakat yang mulai membaik dan masifnya program pemberantasan TB oleh pemerintah. Namun, segala upaya tersebut belum mampu membebaskan Indonesia dari beban penyakit TB.

Karena itu, menurut DR. Dr. Erlina Burhan, M.Sc., Sp.P(K), staf pengajar Departemen Pulmonologi dan Respirologi FKUI/RSP Persahabatan, edukasi yang tepat mengenai penyakit, cara penularan, dan terapi pengobatan TB teramat penting.

"Respons positif dari lingkungan juga sangat menentukan keberhasilan terapi penyembuhan TB. Begitu pula pendampingan keluarga pasien dalam mendukung pengobatan," tandas Ketua Pokja Directly Observed Treatment, Short-course (DOTS) dan TB-MDR RSUP Persahabatan ini.

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri.

Dr. I.B. Sila Wiweka, So.P, dari RS Satya Negara, menjelaskan bahwa karena bersifat kronis, gejala khas TB adalah batuk lebih dari dua minggu, berat badan turun, berkeringat dan demam tidak terlalu tinggi saat sore (tak lebih dari 38 derajat), dan tidak nafsu makan.

"Risiko TB ada pada mereka yang memiliki imunitas rendah, seperti balita, orang tua, serta orang dengan penyakit kronik seperti diabetes, gagal ginjal, paru obstruksi kronik, dan HIV," tandas Dr. Wiweka.

Menurut Dr. Wiweka, kuman TB dapat mempertahankan diri dalam tubuh manusia dengan sangat kuat. Kuman TB berada di saluran napas bawah, berbeda dengan kuman flu biasa yang berada di saluran napas atas.

"Namun, kuman TB tidak tahan sinar matahari dan sangat butuh oksigen. Itu sebabnya, ventilasi udara yang cukup dan berjemur di tempat terbuka sangat membantu melindungi diri dari infeksi TB," ujarnya.

"Kuman yang ada di dalam rumah, bila dialirkan dan kena sinar matahari, maka kekuatan penularannya akan menurun," papar Dr. Wiweka. "Kalau pun menular, si kuman akan tidur atau dorman dalam tubuh yang ia masuki."

Lebih jauh Dr. Erlina menjelaskan, penularan TB terjadi lewat udara yang tercemar oleh percikan dahak dari batuk si pasien. Dahak tersebut mengandung kuman yang bisa terbang ke udara bebas dan terhirup orang lain, ini membuat mereka lantas berisiko terinfeksi TB.

"Penularan TB terjadi melalui droplet atau partikel air kecil yang keluar saat batuk atau bersin. Ukuran droplet kurang dari lima mikron, sehingga bisa melayang-layang di udara. Jika lebih dari lima mikron, ia akan jatuh ke lantai karena berat," papar Dr. Wiweka.

"Risiko penyebaran kuman TB ke lingkungan terutama tinggi pada lingkungan yang tertutup dan tidak ada ventilasi," lanjutnya. "Namun, mereka yang daya tahan tubuhnya baik, gizi cukup, dan tidak merokok, infeksi tersebut akan terhambat di pertahanan lokal tubuh."

Bila patuh berobat, biasanya selama 2-8 minggu gejala akan hilang: tidak ada batuk berdarah, berat badan mulai naik, dan tak ada keluhan lain. Namun, perlu diingat bahwa kuman tidak mati, hanya tidur.

"Inilah yang menyebabkan pasien TB harus diobati selama minimal enam bulan. Edukasi ini penting dipahami pasien dan keluarga. Jika tidak, pasien sering kali berhenti berobat, terutama karena merasa sudah sehat dan menganggap diri sembuh, padahal belum," tandas Dr. Wiweka.

Menurutnya, dua bulan pertama dalam masa pengobatan TB merupakan fase intensif. Setelah itu, pasien akan dievaluasi dan dahaknya diperiksa ulang.

Indikator kesembuhan dinilai dari kondisi klinis yang kian membaik, hasil rontgen mengalami perbaikan, tidak ada keluhan batuk berdarah, berat badan stabil atau naik, dan dahak negatif di akhir pengobatan.

Kedua pakar ini sepakat, tak boleh ada diskriminasi pada pasien TB.

"Tidak perlu sampai memisahkan alat makan dan handuk. Ini adalah stigma yang harus dibuang jauh-jauh. TB tidak menular lewat peralatan makan, tetapi dari percikan dahak yang mengandung kuman TB," tandas Dr. Erlina.

"TB juga bukan penyakit kutukan atau guna-guna, melainkan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman. Penyakit ini ada obatnya, diberikan gratis, dan bisa sembuh asal pasien disiplin berobat," tegas Dr. Erlina.

Hal senada disampaikan Dr. Wiweka. "Jangan ada diskriminasi pada pasien TB. Penyakit ini bisa sembuh dengan pengobatan rutin minimal enam bulan, atau 22-24 bulan pada TB yang resisten," ujarnya.

"Selama daya tahan tubuh terjaga baik dan lingkungan sehat, maka tidak ada yang menularkan. Sebaliknya, bila daya tahan tubuh menurun dan lingkungan buruk, maka bisa saling menulari," imbuhnya.

Stigma terhadap pasien TB bisa memengaruhi kualitas hidup mereka.

Dr. Erlina menyebutkan bahwa TB bisa membuat pasien kehilangan pendapatan karena tidak dapat bekerja, kegiatan sekolah terganggu, dan dikucilkan masyarakat. Bahkan, pasien TB juga tak leluasa berinteraksi dengan keluarga sendiri yang takut risiko penularan.

TB juga berdampak pada tingkat kemiskinan yang bertambah, karena penyakit ini banyak menyerang masyarakat dengan ekonomi lemah dan kelompok usia produktif. Pemerintah juga menyiapkan dana khusus untuk mengatasi TB.

Mengapa Indonesia belum bebas dari beban TB? Menurut Dr. Erlina, ini karena persoalan TB bukan hanya terkait medis. Banyak pihak berkewajiban mendukung upaya pemberantasan dan kampanye Indonesia bebas TB.

"Misalnya, pasien tidak mau balik berobat karena fasilitas kesehatan yang kurang, atau minimnya dukungan keluarga dan masyarakat," tandasnya.

Dr. Erlina menegaskan bahwa karena TB adalah masalah bersama, maka berbagai sektor selain medis harus ikut mendukung. Misalnya, infrastruktur fasilitas kesehatan yang merata sampai pelosok, serta kelonggaran izin berobat dari sekolah, kampus, dan perusahaan.

"Mengatasi penyakit menular harus kerja sama secara masif semua pihak, tidak hanya tugas layanan kesehatan. Masyarakat harus aktif jika menemukan kasus baru, terutama para kader kelurahan dan PKK," tambah Dr. Erlina.


Komentar