Sudahkah Anda Mengenal Kondisi Down Syndrome dengan Baik?
Meski terminologi down syndrome cukup familiar, sudahkah kita mengenali kondisi ini dengan baik dan mengubah stigma di masyarakat?
Di usia yang menginjak 26 tahun, Susi selaku penyandang down syndrome dapat tumbuh optimal sesuai potensi maksimal. Ia bahkan menorehkan sejumlah prestasi yang tak kalah dengan anak-anak yang terlahir normal.
Sejatinya, banyak anak dengan down syndrome (DS) dapat tumbuh sehat dan cerdas hingga beranjak remaja. Untuk itu, diperlukan pemahaman yang benar mengenai DS, tak hanya keluarga, tapi juga masyarakat.
Prof. DR. Dr. Rini Sekartini, Sp.A(K), Guru Besar Departemen ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, menjelaskan bahwa down syndrome merupakan kelainan kongenital multiple, yakni kelebihan materi genetik di kromosom 21.
"Ciri khasnya adalah wajah penyandang DS yang mirip satu sama lain, yaitu bentuk Mongoloid. Kelainan ini tampak kasat mata dan terlihat dari kondisi fisik, bahkan sejak lahir," jelas Ketua Ikatan Dokter Anak DKI Jakarta ini.
Menurut Prof. Rini, DS memerlukan deteksi sedini mungkin.
"Kondisi ini dapat dideteksi sejak lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Salah satunya adalah dengan USG 4 Dimensi dan pemeriksaan kromosom," tandas Prof. Rini.
Hal senada disampaikan Dr. Luh Karunia Wahyuni, Sp.RM(K), staf pengajar Departemen Rehabilitasi Medik FKUI RSCM, yang menegaskan bahwa kepastian diagnosis DS dapat dilakukan melalui pemeriksaan kromosom.
"Sekarang bahkan sudah lebih maju, yaitu dengan pemeriksaan cairan amnion dari dalam kandungan ibu. Namun, pemeriksaan ini harus sesuai indikasi, sebab mengambil cairan dari kandungan memiliki risiko cukup besar, seperti infeksi," ujar Dr. Luh.
Hingga saat ini, belum diketahui penyebab pasti dari kelainan ini.
Dr. Luh menyebutkan, mitos bahwa faktor usia ibu saat hamil bisa memicu DS telah terbantahkan. Jika dulu dianggap ibu yang hamil lebih dari usia 35 tahun berisiko memiliki anak DS, belakangan banyak juga ibu berusia di bawah 35 yang melahirkan anak DS.
Penyebab DS bisa dibilang multifaktoral. Kelainan ini diberikan oleh Yang Maha Kuasa, karena itulah orangtua dengan anak DS merupakan orangtua terpilih - orangtua yang istimewa dengan anak istimewa pula. Karena itulah, saat mendapati anak terdiagnosis DS, Dr. Luh menyarankan sejumlah langkah bijak.
Pertama-tama, persiapkan mental untuk bisa menerima keadaan ini. Kemudian, orangtua juga harus mau belajar, mencari tahu apa dan bagaimana gejala DS, serta penanganan yang tepat.
"Harus dipahami bahwa karena disabilitas intelektual yang rendah, seorang anak dengan DS tidak bisa melakukan aktivitas fungsional seperti anak lainnya, jadi kelihatannya tidak bisa diam, bahkan dibilang hiperaktif," kata Dr. Luh.
Yang pasti, kelainan DS perlu segera ditangani dan dilakukan intervensi, terutama motorik kasar, paling telat di bawah usia 2 tahun. Jika terlambat, pencapaiannya akan semakin lama dan biayanya semakin besar.
Masalah kesehatan yang terjadi pada anak-anak DS antara lain gangguan pada pendengaran, mata, dan jantung, hernia, problem infeksi dan daya tahan tubuh, keterlambatan perkembangan, juga disabilitas intelektual.
"Keberhasilan dalam mengejar ketertinggalan tumbuh kembang ini sangat tergantung sejauh mana intervensi. Kalau ke klinik cuma dua kali seminggu misalnya, maka di rumah harus lebih intensif," kata Prof. Rini.
"Di luar itu, aspek psikologis tak kalah penting. Keberhasilan juga sangat tergantung pada penerimaan dan dukungan keluarga. Biasanya kalau fase penerimaannya lama, maka semakin memperlama konsultasi, intervensi juga terlambat," tukas Prof. Rini.
Sebagai pakar rehabilitasi medik, Dr. Luh menekankan untuk menggali lebih dalam apa faktor yang memicu terjadinya gangguan pada otot yang lemah.
Pertama, cari sebab dulu kenapa lemah, bisa jadi karena hormon tiroidnya. Kedua, mesti diperiksa adakah kaitannya dengan status gizinya yang jelek. Ketiga, pastikan ada tidak penyakit jantung karena bisa jadi masalah jantung bikin dia lemas dan cepat lelah. Keempat, otot lemah itu memang bagian dari sindromnya.
"Namun, dokter tidak boleh langsung berasumsi ini bagian dari sindrom. Pastikan dulu kondisi lain sudah teratasi. Lantas, jika memang kelemahan itu bagian dari sindromnya, maka harus distimulasi dengan tepat dan diintervensi secara benar," Dr. Luh mengingatkan.
Beragam latihan yang dilakukan di klinik mesti dioptimalkan juga di rumah.
Tidak selalu latihan itu harus di klinik. Orangtua yang sebenarnya harus melakukan lebih banyak di rumah. Ketika kembali ke klinik untuk pemeriksaan, dokter akan mengevaluasi sejauh mana perkembangannya, dilihat rekam mediknya, bagian mana yang harus diintervensi dokter, dan mana yang harus dilakukan orangtua.
Misalnya, untuk mengejar target si anak harus bisa mengangkat leher, harus diperiksa dulu pastikan lehernya sudah kuat dan siap dilatih. Orangtua diajarkan cara menggendong yang benar, membuat pola gerak agar anak bisa menumpu dengan baik, bisa mengangkat kepalanya.
Sebaliknya, jika di rumah hanya dibaringkan saja, anak tidak akan terstimulasi. Di sinilah orangtua punya peran besar. Selengkap apa pun tim di rumah sakit, tanpa dukungan keluarga, hasilnya tak akan maksimal.
Terkait disabilitas intelektual, Dr. Luh menjelaskan hal ini penting dipahami, terutama pada anak-anak DS yang memasuki usia sekolah.
Disabilitas intelektual memiliki komponen atensi, yakni seberapa dia mampu memusatkan perhatian. Belajar butuh atensi, mampu menyimpan dalam memori, dan menyelesaikan masalah. Itu sebabnya, anak DS yang ingin bersekolah perlu diperiksa dulu, bagaimana kondisi fisik maupun basic skill-nya.
Yang pasti, anak DS sangat individual, pendekatan dan terapinya sangat spesifik sesuai kondisi dan kebutuhan masing-masing. Yang juga perlu diingat, anak-anak DS memandang dunia dengan berbeda.
"Mereka selalu tampak bahagia. Anak-anak dengan DS sangat polos, tidak punya pikiran negatif, dan tidak punya niat jahat," ungkap Dr. Luh. "Jika mereka melakukan hal di luar dugaan, seperti memukul teman, pemicunya lebih karena penalaran yang tidak berfungsi."
Prof. Rini mengingatkan agar para orangtua yang memiliki anak dengan DS terus memantau tumbuh kembang mereka, serta memenuhi kebutuhan gizi dan stimulasi yang tepat dan maksimal.
"Dengan asah, asih, dan asuh yang maksimal, anak-anak, apa pun kondisinya, akan tumbuh sesuai potensi optimal mereka," pungkasnya.
Komentar