Aritmia Bisa Menjadi Momok yang Merenggut Nyawa



Aritmia adalah salah satu ragam gangguan jantung yang masih sedikit diketahui. Meski tak sepopuler penyakit jantung koroner, aritmia bisa menjadi momok yang merenggut nyawa, bahkan di usia muda.

Berdebar-debar mungkin merupakan gejala paling sering dari aritmia. Namun spektrum gejala penyakit ini sesungguhnya cukup luas, dari rasa keleyengan, pingsan, hingga stroke.

"Berdebar yang terkait aritmia pun harus dipahami secara benar," ujar Dr. Dicky Armein Hanafy, Sp.JP(K), FIHA, staf pengajar dari Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/Pusat Jantung Harapan Kita.

Menurut dokter yang juga Ketua Indonesian Heart Rhythm Society Meeting (InaHRS) ini, pasien sering kali mengeluh berdebar ketika denyut jantungnya cepat maupun lambat, tidak teratur, terasa lebih kuat, ada jeda, bahkan saat sakit dada.

Karena itu, dalam dunia kedokteran, istilah berdebar didefinisikan sebagai kesadaran akan denyut jantung yang digambarkan sebagai sensasi nadi yang tidak nyaman atau gerakan di sekitar dada. Berdebar merupakan alasan kedua terbanyak bagi pasien untuk menemui spesialis jantung.

Apa yang dimaksud dengan aritmia?

Penyakit ini didefinisikan sebagai segala bentuk gangguan produksi impuls atau abnormalitas penjalaran impuls listrik ke otot jantung.

Untuk memahami perjalanan penyakit ini, kita harus mulai dari pengertian bahwa jantung kita bekerja terus-menerus karena otomatisasi sistem listrik.

Sistem listrik jantung terdiri dari generator listrik alamiah, yaitu nodus sinoatrial (SA), dan jaringan konduksi listrik dari atrium ke ventrikel. Nah, gangguan pada pembentukan dan/atau penjalaran impuls listrik inilah yang menimbulkan penyakit aritmia.

Secara umum, aritmia dibagi menjadi dua kelompok: bradiaritmia, yakni laju jantung terlalu lambat (kurang dari 60 kali per menit [kpm]), dan takiaritmia, yakni laju jantung yang terlalu cepat (lebih dari 100 kpm). Prosedur terapi mencakup farmakologi, elektroterapi, dan terapi bedah.

Setidaknya, 41 persen pasien yang mengeluhkan jantung berdebar terbukti memiliki aritmia. Epidemiologi aritmia di Indonesia sendiri tidak jauh berbeda dengan negara lain. Sebanyak 87 persen pasien yang meninggal mendadak kemudian diketahui mengalami aritmia.

Dalam skala lebih kecil, data di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita menunjukkan bahwa kejadian Fibrilasi Atrium (FA) pada pasien selalu meningkat setiap tahun.

Dr. Agung Fabian Chandranegara, Sp.JP(K), Ketua Panitia Kampanye Fibrilasi Atrium 2017, mengatakan bahwa prevalensi FA saat ini mencapai 1-2 persen dari populasi, dan akan meningkat dalam 50 tahun ke depan. Tak jarang, stroke merupakan manifestasi klinis pertama dari FA.

Dokter yang berpraktik di RS Hermina Tangerang ini menekankan pentingnya mengedukasi masyarakat tentang FA melalui kampanye yang berkelanjutan. Kampanye FA 2017 sendiri dinilai cukup berhasil dihadiri 1.700 orang di Jakarta. Kampanye itu juga didukung Pemda DKI dan Kementerian Kesehatan.

"Kepedulian pemerintah, masyarakat, serta para dokter dalam meningkatkan kesadaran terhadap aritmia tentu sangat membantu dalam mengatasi salah satu kesehatan besar di Indonesia," ujar Dr. Agung.

Angka kejadian aritmia yang terus meningkat menuntut tata laksana yang tepat untuk menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.

Tantangannya adalah fakta bahwa aritmia masih belum sepopuler penyakit jantung koroner atau sindrom gagal jantung. Ini disebabkan pemahaman masyarakat yang masih rendah, jumlah dokter ahli aritmia masih sedikit, dan keterbatasan fasilitas kesehatan yang menyediakan pelayanan canggih untuk aritmia.

Padahal, menurut Dr. Dicky, teknologi dan tata laksana aritmia tengah berkembang pesat di seluruh dunia. Di Indonesia, pengetahuan dokter spesialis jantung tentang aritmia belum merata. Di Jakarta terdapat perkembangan pesat, tapi kota-kota lain masih sangat perlu untuk ditingkatkan, baik jumlah dokter subspesialis aritmia maupun fasilitas yang diperlukan.

"Dari lebih dari 1.000 orang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, hanya ada 25 orang yang memiliki subspesialis aritmia. Dengan kata lain, rasionya adalah 1:10.000.000, padahal idealnya adalah rasio 1:100.000," tegas Dr. Dicky. 

Menyikapi problem ini, Indonesian Heart Rhythm Society Meeting (InaHRS) sebagai asosiasi profesional peminatan aritmia bertekad mewujudkan pemerataan pelayanan aritmia di seluruh Indonesia melalui pendidikan dan pelatihan, baik di Indonesia maupun di luar negeri. InaHRS juga memfasilitasi dokter dengan guideline yang bisa diakses gratis.

Menurut Dr. Dicky, ada tiga kendala utama dalam menyampaikan edukasi terkait aritmia.

Pertama, pasien menilai risiko stroke akibat FA akan menghilang ketika gejala sudah terobati. Kedua, pasien menganggap risiko penggunaan obat pencegahan stroke akibat FA lebih besar dibanding manfaatnya. Ketiga, pasien kesulitan memahami penjelasan dokter.

"Selain itu, aritmia bisa menyerang semua rentang usia, dari bayi hingga lansia. Karena itu, aritmia pada lansia Indonesia juga tidak boleh diabaikan, dan harus ditangani dengan baik," tandas Dr. Dicky.

Para pakar ini mengimbau agar masyarakat senantiasa waspada terhadap gejala yang tidak khas aritmia namun dapat mengarah ke penyakit tersebut, seperti lesu dan pusing. Jika terdapat gejala ini, segera konsultasikan ke dokter.


Gejala Fibrilasi Atrium

Berikut sejumlah gejala yang perlu diwaspadai dari bentuk aritmia yang menyerang 10 persen orang di atas usia 65 ini:

✓ Lelah dan tak bertenaga
✓ Napas terasa pendek atau sesak
✓ Denyut jantung lebih cepat dari biasanya, atau berubah-ubah antara cepat dan lambat.
✓ Jantung berdebar. Lebih spesifiknya, denyut terasa "ngebut" dan ada detak yang menumbuk.
✓ Kesulitan melakukan olahraga atau aktivitas sehari-hari.
✓ Ada rasa nyeri, tekanan, atau terimpit di dada.
✓ Rasa melayang dan pusing.
✓ Sering buang air kecil.


Gelang Pendeteksi Aritmia

Akhir 2017 lalu, Food and Drug Administration mengeluarkan izin untuk penjualan KardiaBand, gelang (wristband) pemantau jantung yang dikenakan bersama Apple Watch.

Setelah KardiaBand dilepas ke pasar, para dokter spesialis jantung di Cleveland Clinic ingin mengetahui seberapa tepat gadget tersebut mendeteksi jenis gangguan irama jantung paling umum: Fibrilasi Atrium atau FA.

Maka, para peneliti mengumpulkan 100 pasien yang telah beberapa waktu mengenakan gelang seharga 200 dollar AS ini dan membandingkan hasil pantauan si"wireless EKG" dengan diagnosis dokter.

Ternyata, gelang tersebut - bersama dengan algoritma yang dijalankan pada Apple Watch - memiliki akurasi sampai 90 persen dalam membedakan antara denyut jantung normal dan FA.

Hasil yang kemudian dipresentasikan pada Maret 2018 di American College of Cardiology's 67th Annual Scientific Session ini mengungkap bahwa KardiaBand bisa membantu pemakainya untuk mengetahui apa yang terjadi pada jantung dengan mereka secara hampir akurat.

"Perangkat ini jelas bisa membantu kardiolog untuk membuat penegakkan diagnosis. Namun, jika algoritma di dalamnya juga bisa menghasilkan diagnosis yang tepat, tentu luar biasa," komentar Gordon Tomaselli, profesor kedokteran sel dan molekuler di Johns Hopkins School of Medicine.

"Tentu, diagnosis FA yang dibuat oleh perangkat ini kemudian harus diperiksa kembali oleh spesialis jantung, untuk memastikan bahwa ini bukan diagnosis yang keliru," pesan mantan presiden American Heart Association tersebut.


Komentar