Batasi Konsumsi Gula pada Anak
Tanpa disadari, pola makan anak-anak masa kini cenderung tinggi gula. Padahal, kelebihan gula dapat memicu berbagai problem nutrisi. Cek saran para pakar untuk memastikan asupan gula si kecil tak berlebihan.
Tengoklah kantin sekolah, warung-warung kecil dekat rumah, hingga mini market yang menjamur di tiap sudut.
Kemungkinan besar, Anda akan mudah menemukan ragam makanan dan minuman ringan yang disukai anak-anak, dengan pilihan merek, warna, rasa, hingga bentuk. Meski digemari si kecil, makanan dan minuman kemasan ini berisiko meningkatkan konsumsi gula yang melebihi kebutuhan normal anak.
"Umumnya, kandungan gula paling banyak terdapat pada makanan maupun minuman ringan kemasan, yang kadar zat aditifnya cukup tinggi," tegas Dr. Diyah Eka Andayani, M.Gizi, Sp.GK, staf pengajar Departemen Ilmu Gizi FKUI/RSCM.
"Sayangnya, ini sering kali tidak disadari oleh orangtua. Padahal, makanan seperti inilah yang menjadi pilihan favorit anak-anak dalam keseharian, terutama dalam bentuk jajanan di sekolah maupun di rumah," ujar Dr. Diyah.
Peringatan senada disampaikan oleh Dr. Elvina Karyadi, M.Sc., PhD, Sp.GK, Direktur Micronutrient Initiative.
Menurut Dr. Elvina, survei nasional mengungkap bahwa sumber gula tertinggi berasal dari minuman, termasuk minuman kemasan yang dikonsumsi anak-anak. Sumber gula juga didapat dari makanan manis lain, seperti permen, es krim, atau cokelat.
Meski demikian, Ketua Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia DKI Jakarta ini menegaskan bahwa gula tidak selalu berbentuk makanan atau minuman manis. Perlu dipahami bahwa ada pula yang dikenal sebagai hidden sugar dalam makanan sehari-hari, yang kerap kali tidak kita sadari.
"Gula tersembunyi terdapat di dalam makanan tinggi kalori dan gula, yaitu makanan yang terbuat dari tepung. Contohnya, gorengan, cake, dan pasta. Mereka boleh saja dikonsumsi, asal tidak berlebihan," papar Dr. Elvina.
Mengapa membatasi asupan gula pada anak penting dilakukan?
Menurut Dr. Diyah, gula berlebihan akan meningkatkan asupan jumlah kalori dalam tubuh. Ini tentu akan memengaruhi status gizi si kecil. Asupan gula berlebih juga akan berhubungan dengan peningkatan berat badan pada anak.
"Dan peningkatan berat badan yang tidak bisa dikendalikan akan berujung kepada obesitas atau kegemukan yang dialami anak. Jika sudah obes, maka akan berkaitan pula dengan berbagai penyakit yang muncul pada usia lebih muda," kata Dr. Diyah.
Terkait konsumsi gula tinggi pada anak, Dr. Elvina menyoroti sejumlah masalah gizi berlebih, yakni tingginya konsumsi GGL (gula, garam, dan lemak) serta kurang sayur, buah, dan aktivitas fisik.
Padahal, sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No. 30/2013, jumlah GGL harus dibatasi, yaitu gula kurang dari 50 gram, garam kurang dari 2.000 mg, dan lemak kurang dari 67 gram.
Dr. Elvina menekankan, gula merupakan salah satu elemen dari kalori, dan kebutuhan kalori setiap anak berbeda.
Misalnya, anak usia 2 tahun dengan berat badan 15 kg memiliki kebutuhan kalori 100-120 kal/kg. Artinya, dia butuh 1.500-1.800 kalori per hari yang bisa didapat dari macam-macam makanan yang dikonsumsi.
Hal senada diungkapkan Dr. Diyah. Fungsi gula dalam metabolisme tubuh anak adalah sebagai sumber energi. Karena itu, kebutuhan setiap anak harus sesuai dengan angka kecukupan gizi.
"Gula paling banyak didapat dari bahan makanan sumber karbohidrat, karena karbohidrat akan dimetabolisme oleh tubuh dan akan menghasilkan produk akhir berupa gula," ujar Dr. Diyah. "Asupan karbohidrat yang seimbang dalam konsumsi makanan akan menghasilkan produk akhir yang seimbang pula."
Ditilik dari sumbernya, karbohidrat sendiri bisa dibagi menjadi karbohidrat jenis sederhana dan karbohidrat kompleks. Karbohidrat jenis sederhana adalah karbohidrat siap serap, misalnya gula pasir.
Sementara itu, karbohidrat kompleks merupakan karbohidrat yang untuk metabolismenya perlu dipecah-pecah dulu menjadi komponen yang sederhana. Contohnya adalah nasi.
Dr. Elvina menandaskan, penyebab masalah gizi lebih pada anak di antaranya adalah konsumsi tinggi gula dan lemak, kurang sayur dan buah, serta kurang aktivitas fisik.
"Yang makan cukup itu masih kurang dari 50 persen penduduk Indonesia. Sisanya banyak sekali yang mengonsumsi gorengan. Hampir semua bahan makanan diolah dengan cara digoreng, belum lagi tambahan gula yang sangat banyak," ujar Dr. Elvina.
Menurut Dr. Elvina, yang perlu dicermati adalah bahwa asupan gula sehari-hari itu sudah mencakup seluruh makanan yang dikonsumsi. Artinya, hampir pasti ada kandungan gula dari makanan dan minuman yang kita konsumsi setiap hari, dari pagi hingga malam.
Karena itu, orangtua perlu mengambil langkah-langkah untuk memastikan asupan gula anak sudah ideal, yakni dengan memberikan makanan dalam jumlah dan komposisi seimbang.
"Garam, gula, lemak dalam konsumsi harian untuk anak-anak harus dibatasi. Salah satu caranya, jangan semua makanan ditambah gula atau mengandung gula," saran Dr. Elvina.
Misalnya, kalau membuat jus buah, usahakan agar tidak ditambah gula. Kalaupun ditambah, cukup sedikit saja, sekitar 5 gram. Mengapa? Karena makanan lain biasanya juga sudah mengandung gula.
Dr. Elvina juga menyarankan agar saat memberikan susu ke anak, jangan menambahkan gula. Begitu juga saat membuat jus, lebih baik tanpa gula. Kalaupun pakai, pastikan takarannya sedikit.
Untuk menyiasati konsumsi gula tanpa membuat anak "menderita", Dr. Diyah mengusulkan agar kita memberikan pengertian pada anak tentang kegunaan dari setiap zat makanan.
"Berikan penjelasan mengenai manfaat makanan dalam suasana yang menyenangkan. Sebagai orangtua, berikan contoh bagaimana mengonsumsi makanan yang baik dan benar, sesuai komposisi gizi seimbang," tandasnya.
Yang tak kalah penting, jangan biarkan anak mengonsumsi jajanan tanpa memperhatikan kandungan dalam makanan tersebut. Dan, jika anak terlanjur terbiasa dengan diet tinggi gula, segera ubah pola dietnya dan perbanyaklah aktivitas fisik.
Waspadai Minuman Berenergi
Baru-baru ini, Canadian Pediatric Society mengeluarkan peringatan agar anak-anak dan remaja tidak mengonsumsi minuman penambah energi.
Mengapa? Minuman penambah energi memiliki kandungan gula tinggi yang dapat memicu obesitas dan gigi berlubang pada si kecil. Ketimbang minuman berenergi, para ahli menyarankan agar anak dan remaja minum banyak air putih.
"Air putih adalah pilihan terbaik untuk anak-anak," ujar Dr. Catherine Pound, dokter anak dan peneliti di Children's Hospital of Eastern Ontario.
Di Kanada, minuman penambah energi dipasarkan sebagai pengganti cairan bagi anak dan remaja yang gemar berolahraga. Menurut University of Ottawa, 90 persen iklan untuk anak adalah produk minuman manis dan makanan yang tinggi garam, gula, dan lemak.
Pound mengingatkan sejumlah efek samping dari konsumsi berlebihan minuman penambah energi. Pertama-tama, minuman berkafein tersebut berbahaya untuk anak dengan ADHD (attention deficit hyperactive disorder).
Minuman penambah energi juga dapat memicu kecemasan, gangguan tidur, dan abnormalitas irama jantung pada anak. Ditambah lagi, konsumsi gula berlebihan merupakan kontributor utama penyakit jantung dan stroke. Jadi, institusi tersebut menganjurkan orangtua untuk mengawasi apa yang dikonsumsi anak-anak dan remaja mereka.
Komentar