Penyebab Depresi dan Cara Mengatasinya


Sejak 2015 lalu, depresi telah ditetapkan oleh WHO sebagai krisis global. Tercatat, lebih dari 350 juta penduduk dunia mengalami depresi. Tak heran jika WHO menetapkan invisible disease ini sebagai salah satu prioritas untuk ditangani.

Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.

Beratnya tekanan hidup yang dialami seseorang berpotensi tak hanya mengusik kondisi fisik, tapi juga menyebabkan timbul depresi - yang dijabarkan WHO sebagai gangguan suasana hati yang mengganggu aktifitas sehari-hari.

Masalahnya, sering kali depresi tak disadari, baik oleh penderita maupun orang-orang di sekitarnya. Itu sebabnya, depresi disebut gangguan yang tak tampak, membuat sebagian besar penderitanya tak ditangani dengan baik.

Ya, berbeda dengan gangguan lain, penderita depresi kerap tidak sadar bahwa ada masalah dalam diri mereka. Inilah yang memicu besarnya angka penderita depresi - dengan proporsi wanita lebih banyak - yang tidak mendapat penanganan semestinya.

Generasi milenial saat ini, misalnya, mengutamakan kesuksesan yang diukur dari karier bagus dan keberhasilan di posisi bergengsi. Untuk mencapainya, mereka berkompetisi dengan sangat ketat. Yang kalah dianggap gagal.

Itulah sebabnya saat ini depresi paling banyak dipicu oleh urusan pekerjaan, karena eksistensi dilihat dari jabatan dan kedudukan seseorang.

Menurut DR. Endang Mariani Rahayu, M.Si, peneliti serta pengamat psikologi sosial dan budaya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, depresi merupakan gangguan pemikiran, persepsi, emosi, perilaku, dan hubungan dengan orang lain.

"Depresi terjadi sebagai akibat dari ketidakmampuan individu berdamai dengan stressor dalam kehidupan sehari-hari, dari masalah finansial, kegagalan hubungan, sampai penyakit kronis," papar Endang.

Derajat gangguan yang disebabkan oleh depresi lebih berat dari stres. Biasanya, stres yang dibiarkan dan tidak ditangani dengan baik akan berkembang menjadi depresi berkepanjangan. Ada pula sejumlah ahli yang mendefinisikan depresi sebagai gangguan mood dengan tingkatan bervariasi.

Menurut Endang, ada tiga kategori depresi, yaitu ringan, sedang, dan berat. Angka kejadian depresi ringan lebih banyak, namun tidak disadari. Misalnya, mungkin Anda pernah merasa malas berbicara dengan seseorang yang sifatnya menjengkelkan.

Menurut Dr. Ratna, depresi ringan sulit dihitung. Selain mereka tidak datang ke klinik atau rumah sakit, penderitanya menganggap ia tidak sakit, hanya lagi sedih, padahal sudah berlangsung dua minggu.

Jika sudah menjadi depresi berat, maka penderita mesti dirawat di rumah sakit karena biasanya orang-orang di rumahnya sudah tidak sanggup lagi menangani.

Lebih jauh, Dr. Ratna Mardiati, Sp.KJ, dari Klinik Angsa Merah, mengungkap bahwa faktor genetika juga berperan depresi.

"Depresi biasanya bersifat genetik yang diturunkan pada kromosom. Jika ada bakat, datang kesedihan bertubi-tubi atau kehilangan sesuatu yang dicintai apa pun bentuknya. Itulah yang akan memicu depresi, walau tidak secara langsung," ujar Dr. Ratna.

Dr. Ratna menegaskan, tidak semua kehadiran gejala lantas disebut depresi. Ada periode kemunculan gejala yang menjadi indikator, yakni minimal dua minggu. Misalnya, Anda mengalami kehilangan minat, kesenangan, dan gairah hidup terus-menerus selama setidaknya dua minggu.

Namun, jangan menunggu sampai dua minggu. "Jika melihat ada yang tidak biasa dengan orang itu dan sudah berlangsung beberapa hari, coba dekati. Biasanya, ia baru mengalami kehilangan yang berat, seperti orang yang dicintai, pekerjaan, atau kesehatannya," saran Dr. Ratna.

Selain itu, gejala khas lain adalah keinginan bunuh diri, yang sering diungkapkan orang yang mengalami depresi. Sesungguhnya, mereka yang memiliki dorongan bunuh diri pasti sebetulnya bicara, tapi kita sering menanggapinya secara tidak serius.

"Jika ada ucapan keinginan bunuh diri, sebaiknya dicermati, bukan diabaikan," tegas Dr. Ratna. "Temani, lalu ajak bicara. Pancing apa yang ada di pikirannya tentang hal itu, sehingga kita bisa menolongnya."

"Kalau kita merasa tidak bisa, ada profesi yang bisa menggali informasi tersebut, yaitu psikiater dan psikolog. Bila keinginan mati lebih besar daripada upaya setiap orang di sekitarnya, jagalah ia 24 jam bergantian karena setiap detik bisa membuat dia ingin mati," Dr. Ratna mengingatkan.

Ia menegaskan, orang yang depresi tidak bisa menolong dirinya sendiri. Karena itu, beri pengertian padanya bahwa dia harus menyadari ada sesuatu dalam dirinya dan kapan dia harus menghubungi orang lain untuk membantunya, karena dirinya sendiri tidak cukup kuat.

Salah satu solusi yang bisa diberikan bagi penderita depresi adalah terapi obat. Di otak kita, diproduksi sebuah zat bernama dopamin yang jika hilang, kita tidak lagi bisa merasakan senang. Untuk mengatasi depresi, dokter dapat memberikan obat yang membuat neuron kembali menghasilkan dopamin.

"Selain terapi obat, ajaklah penderita depresi untuk bergerak atau berolahraga. Dengan bergerak, adrenalin akan naik dan memicu timbul rasa senang dalam diri," tandas Dr. Ratna.

Adakah strategi pencegahan depresi?

Kedua pakar kesehatan jiwa ini menegaskan bahwa mencegah depresi sejatinya sama seperti mencegah penyakit infeksi fisik, yakni dengan cara imunisasi. Ya, "imunisasi jiwa" - agar Anda bisa bertahan menghadapi tekanan, persoalan, dan kegagalan hidup. Artinya, kita harus belajar kecewa.

Mulai sekarang, lakukanlah "imunisasi mental" dengan menanamkan keyakinan diri bahwa hidup ini menyenangkan, dan apa pun yang kita alami, kita akan bisa bangkit lagi. Sejak dini, ajarkan anak-anak untuk bersiap terhadap kekecewaan - untuk jatuh, tapi juga untuk bangkit kembali.

Berbagai Gejala Depresi
Baik stres maupun depresi memiliki gejala hampir sama. Namun, biasanya jauh lebih berat dan lama - gejala ini muncul selama setidaknya 2 minggu:
* Perubahan mood.
* Sedih dan putus asa berkepanjangan.
* Kehilangan minat untuk melakukan hal yang biasanya disukai.
* Gangguan tidur.
* Perubahan nafsu makan.
* Tidak ada motivasi hidup.
* Menarik diri dari pergaulan dan lingkungan.
* Merasa lelah dan tidak dapat melakukan pekerjaan apa pun.
* Sulit membuat keputusan.
* Merasa gelisah, mudah marah, dan mudah tersinggung.
* Sulit konsentrasi dan gangguan daya ingat.
* Merasa tidak dapat mengatasi berbagai masalah dalam hidup.
* Memiliki pikiran untuk bunuh diri.

Depresi dan Bunuh Diri
Bunuh diri adalah penyebab kematian tertinggi kedua di antara populasi usia 15-29 tahun.
Secara global, setiap tahun lebih dari 800.000 orang meninggal karena bunuh diri, atau 1 kematian setiap 40 detik. Angka ini berdasarkan atas penelitian selama 10 tahun di 172 negara.
Bagaimana dengan Indonesia? Pada 2015, Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI mengungkap bahwa rata-rata rentang usia pelaku bunuh diri relatif memanjang hingga usia di atas 30-49 tahun.
"Depresi tidak selalu berujung pada bunuh diri, tetapi kasus yang terbanyak memang berakhir dengan bunuh diri. Orang yang bunuh diri biasanya sudah mencoba beberapa kali. Jadi, sebetulnya gelombang depresinya sudah terjadi beberapa kali," ujar Dr. Ratna Mardiati, Sp.KJ, dari Klinik Angsa Merah.
DR. Endang Mariani Rahayu, M.Si., dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa salah satu indikasi yang diukur WHO adalah peningkatan frekuensi bunuh diri, baik di dunia maupun Indonesia. WHO mencatat, angka bunuh diri di Indonesia menunjukkan tren peningkatan cukup signifikan dari tahun ke tahun.
Nenurut data WHO, faktor risiko penyebab bunuh diri adalah gangguan mental, seperti depresi, gangguan kepribadian, ketergantungan alkohol (atau penggunaan narkoba), atau skizofrenia, serta beberapa penyakit fisik, seperti gangguan neurologis, kanker, dan infeksi HIV.


Komentar