Chris Lie Terobsesi Agar Komik Indonesia Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri


Komikus ini sudah mendunia berkat karyanya. Namun, ia justru menyimpan obsesi, untuk membangun komik Indonesia agar jadi tuan rumah di negeri sendiri.

Zaman dulu, beberapa komik Indonesia sempat mencuat. Salah satunya, karya Hasmi, Gundala Putra Petir. Meski cenderung mengadopsi gambar-gambar model Amerika, komik lokal tersebut cukup membuat sang komikus menemukan masa kejayaannya. Namun, gempuran komik-komik manga ber-genre Jepang rupanya tak bisa ditolak. Bahkan, di negeri Paman Sam sendiri, komik-komik Jepang terus berjaya hingga kini. Meski begitu, belakangan ini tokoh Gundala - bersama sang komikus Hasmi - mulai dihidupkan kembali, seiring dengan mulai kembali menggeliatnya dunia perkomikan tanah air.

"Sayangnya, di sini belum seperti industri komik di negara maju. Kalau di Amerika misalnya, meski komik asli di sana penjualannya kalah dengan komik-komik Jepang, tapi penciptanya tetap bisa sejahtera karena sudah ada intellectual property," sebut Chris Lie. "Itulah salah satu cita-cita saya. Semoga ke depan ada komik ikon Indonesia yang secara hak cipta bisa menyejahterakan penciptanya."

Chris Lie memang tak main-main dengan cita-cita tersebut. Sebagai komikus yang sudah malang melintang dan dipercaya banyak studio komik dunia, Chris tahun 2013 lalu memelopori penerbitan majalah komik re:ON."Konsep ini mengadopsi bisnis komik di Jepang. Jadi, saya memberi kesempatan beberapa komikus untuk menggarap beberapa cerita dalam satu majalah. Dalam beberapa edisi, jika banyak penggemarnya, komik yang sudah jadi itu dikumpulkan jadi satu terbitan sendiri," terang Chris. "Cara ini jadi semacam tes pasar sebelum menerbitkan buku komik tersendiri."

Sejauh ini, sambutan yang diberikan penggemar komik cukup membuat Chris optimis. "Beberapa waktu lalu di acara Hello Fest, re:ON terjual 1500 eksemplar hanya dalam waktu dua hari." Selain itu, sejak 2010 silam, Chris yang mendirikan studionya sendiri - Caravan Studio - memelopori komik seri Baratayuda." Komik tersebut adalah salah satu bentuk karakter berdasar pewayangan yang kami ciptakan dengan harapan ke depan bisa menjadi ikon komik Indonesia," harap Chris.

Sejauh ini, komik Baratayuda cukup mendapat sambutan positif di masyarakat. "Banyak komikus Indonesia yang berhasil menjuarai beberapa ajang lomba komik dunia. Tapi kalau tidak difasilitasi, pencapaian tersebut bisa jadi hanya begitu-begitu saja," papar pria jebolan arsitek Institut Teknologi Bandung ini. "Sebab, saya sendiri pernah mengalaminya. Ditolak kemana-mana. Dikatakan nggak ada pekerjaan untuk menampung kemampuan saya."

Magang Membuka Pintu Dunia

Kiprah Chris di dunia perkomikan sendiri menurutnya baru dimulai pada masa kuliah. "Kalau jurusan arsitek yang saya ambil itu butuh proses yang lebih panjang dan biaya yang tidak sedikit," aku Chris yang pernah bekerja di perusahaan arsitek milik Nyoman Nuarta, pematung yang kemudian membangun Garuda Wisnu Kencana di Bali. "Sementara komik setelah jadi gambar, kita bisa langsung menikmati. Sehingga, prosesnya lebih sederhana, namun punya dampak yang juga tidak kecil."

Obsesi itulah yang membuat Chris memilih komik sebagai jalan hidupnya. "Saya sempat membuat Studio Bajing Loncat. Cukup berkembang sampai jadi 11 orang. Tapi, karena kesibukan masing-masing, akhirnya kami pun bubar."

Bubarnya studio tersebut tak melunturkan niatan Chris untuk terus bergiat di dunia perkomikan. Sayang, belum banyak perusahaan yang mau mempekerjakan Chris dengan kemampuan tersebut. "Dulu saya kerja serabutan. Sebab, mau melamar kemana juga nggak ada yang terima. Mereka komentarnya nggak ada pekerjaan yang cocok buat saya. Kalau kirim portofolio setelah diterima dipuji bagus.

Tapi habis itu juga nggak ada tindak lanjut," kenang Chris. "Memang, tantangannya berat jadi komikus. Apalagi dulu belum seperti sekarang. Saya banyak gagal dan banyak ditolak."

Beruntung, Chris lantas menemukan jalan. Pada tahun 2003 ia mendapat beasiswa Fulbright Scholarship. Berkat beasiswa itu, ia berkesempatan mengambil gelar master bidang Sequential Art Savannah College of Art and Design, Savannah Amerika Serikat.

Di sanalah ia benar-benar belajar dan memperdalam ilmunya. "Tantangan kuliah disana sangat berat. Kalau di Indonesia hari pertama kuliah biasanya diisi dengan perkenalan. Kalau disana langsung diberi tahu tugas-tugas apa saja yang harus dikerjakan," aku Chris. "Tapi enaknya, dosen-dosen disana benar-benar memperhatikan pekerjaan siswanya. Mereka sering merekomendasikan muridnya ke editor studio besar dunia. Sebab, kalau ada yang jadi dan diakui karyanya, itu juga menjadi kebanggaan bagi mereka."

Dalam proses perkuliahan itulah, Chris magang di Devil's Due Publishing, sebuah studio penerbitan besar yang membuat karakter Gl Joe dan Transformer. Namun, perjuangannya mendapat kesempatan magang itu tak mudah. "Ceritanya, saya menyelinap ke kantor mereka berkat bantuan teman yang kebetulan bekerja di sebuah perusahaan game yang satu gedung dengan mereka.

Kalau tidak begitu, belum masuk ke depan pintu mereka saja pasti sudah ditolak. Sebab, yang ingin bekerja di perusahaan yang sudah ternama seperti mereka banyak sekali."

Tapi, dengan magang di sana, bukan berarti kesempatan langsung terbuka. "Saya tidak pernah dikasih pekerjaan menggambar untuk membuktikan kemampuan saya. Malahan, kebanyakan kerja kasar. Disuruh fotokopi sampai jaga pintu," sebut Chris mengenang. "Tapi, kalau lagi menganggur, yasaya gambar-gambar saja terus. Hingga suatu kali, mungkin orang mulai melihat saya. Tiba-tiba, saya diberi tantangan. Meneruskan gambar Gl Joe 120 halaman, tapi hanya diberi waktu 2 minggu. Padahal ilustrator lain paling tugasnya hanya 2 halaman sehari."

Tantangan itu rupanya disanggupi Chris. Ia pun mengerahkan teman-temannya untuk membantu menyelesaikan tugas tersebut. "Meski hasilnya belum maksimal seperti ilustrator yang lebih senior, tapi saya tunjukkan bahwa saya mampu." Kejadian itu lantas mengantarnya mendapat kepercayaan lain.

Suatu kali, salah satu pemimpin proyek Gl Joe mendatanginya. "Ia memberi tugas untuk merancang konsep Gl Joe Sigma6. Menyuruhnya sekitar jam 12 siang, jam 4 sore sudah harus diselesaikan," papar Chris. "Ternyata, ilustrator lain juga ditugaskan membuat hal yang sama. Tapi rupanya, mungkin karena karakter yang dicari beciri khas Asia, yang dipilih adalah karakter yang saya buat. Sejak saat itulah, saya lantas dipercaya untuk mengembangkan Gl Joe Sigma6 ke produk-produk lain."

Keberuntungan lain yang mengantarkan Chris berhasil mendunia juga datang saat suatu kali ia disuruh menjaga pintu masuk kantor. Saat itu, ada seorang tamu yang datang untuk mengambil cek. "Waktu itu, ternyata orang tersebut adalah seorang inker (pemberi warna pada komik) veteran.

Setelah ngobrol sejenak dan tahu saya punya style gambar Jepang, dia lantas menawarkan saya untuk membuat contoh karya." Singkat kisah, contoh karya Chris lantas berhasil diterima sehingga ia dipercaya untuk membuat karakter Return to Labyrinth."Karya itu adalah salah satu kebanggaan saya. Sebab, buku komik tersebut sangat laku dan bahkan menduduki peringkat buku terlaris di New York Times manga best sellers peringkat 4."

Kiprah Chris tak berhenti di sana. Selain pernah menjadi juara pembuatan cover figur Street Fighter 4 di Xbox Amerika, Chris juga makin banyak mendapat pesanan gambar dari berbagai studio dunia, seperti Sony Online Entertainment, Hasbro, Mattel, Wizard of The Coast, dan masih banyak lainnya.

Begitulah jalan hidup Chris. Baginya, semua itu harus diperjuangkan. Berbagai penghargaan internasional yang didapat, menurut Chris belum cukup untuk meraih sukses yang sebenarnya. "Dengan mendirikan Caravan Studio, saya tak ingin berhenti hanya jadi ilustrator penerima pesanan. Tapi saya ingin jadi konseptor kreatifnya. Sebab, dengan begitu, intellectual property kita pegang. Itulah yang sedang saya perjuangkan sampai kini," tegas Chris. Oke, kita tunggu karya-karyanya, agar komik Indonesia benar-benar bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.


Komentar